REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum tata negara, Refli Harun mengatakan instruksi presiden menghimbau para menteri menunda rapat dengan DPR sesuatu yang tepat.
Karena menurutnya sebelum DPR menggunakan hak-haknya, seperti mekanisme RDP dan sebagainya. Lebih baik menyelesaikan konflik internalnya terlebih dahulu.
Apabila semua permasalahan sudah diselesaikan, semua RDP-RDP nanti tidak menghabiskan waktu. Tidak membuat orang bertanya-tanya keabsahan dan legitimasinya. Apalagi rapat-rapat tersebut dibuat untuk mengambil keputusan.
"Kan tidak ada gunanya, kalau keputusan itu tidak absah," ujar Refli saat menghadiri sebuah diskusi di Kompleks Parlemen, Selasa (25/11).
Ia mengatakan, dengan proses damai yang telah tercapai semua dianggap sah. Tapi sebenarnya proses Islah belum seratus persen tercapai. "Masih ada proses-proses yang harus dilalui," ujarnya.
Harapannya sebelum masa reses, semua sudah menyatu. Karena paska masa tersebut ada agenda APBN-P dan perppu Pilkada yang harus dibahas. Menurut Refli, tanpa mereka bersatu, problem yuridis, politis, dan teknis akan terus ada.
Mengenai pernyataan bahwa pelarangan ini sebuah pelanggaran konstitusi, menurutnya hal itu tepat apabila yang diingkari adalah DPR secara keseluruhan. Tapi ia berpendapat, saat ini masih ada faksi-faksi di DPR.
"Menurut saya posisi Jokowi benar, karena dia tidak harus melayani salah satu kelompok, apakah itu KIH atau KMP," jelasnya.
Refli mengatakan pada intinya pemerintah harus melayani DPR yang satu. Kalau sudah bersatu kemudian tidak dilayani, baru bisa dianggap sebagai pelanggaran konstitusi.
Seperti diketahui, sebelumnya beredar surat yang ditandatangani Andi Widjajanto. Surat itu berisi himbauan presiden kepada para mentri untuk menunda rapat dengan DPR sampai semua permasalahan internal di parlemen terselesaikan. Salah satu bentuk keabsahan islahnya DPR adalah revisi UUD MD3 yang ditargetkan tercapai sebelum masa reses anggota dewan pada tanggal 5 Desember 2014.