Selasa 02 Dec 2014 20:18 WIB

Ikadi: Bila Sudah Baligh, Segera Menikah, tapi...

Rep: cr02/ Red: Agung Sasongko
Pernikahan dini (Ilustrasi).
Foto: IST
Pernikahan dini (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (IKADI), KH. Ahmad Satori Ismail mengatakan, dalam ajaran agama Islam bila seorang laki-laki ataupun perempuan sudah baligh maka diperbolehkan untuk menikah. Hal tersebut untuk menghindari perbuatan zina, seks bebas ataupun hamil di luar nikah.

"Bila sudah baligh, segeralah menikah namun harus diperhitungkan dengan baik," kata Satori kepada ROL, Selasa (2/12).

Satori menambahkan, batas usia menikah juga harus diperhatikan. Menurutnya, bagi perempuan menikah diusia 15 tahun sudah diperbolehkan mengingat tahap baligh yang dialami oleh mereka sangat cepat dibandingkan laki-laki.  "Namun sebelum menikah mereka juga harus mendapatkan pendidikan yang khusus untuk membina rumah tangga," ujar Satori.

Untuk laki-laki, Satori menilai lebih baik menikah dalam usia yang ideal dan juga telah mengenyam pendidikan yang tinggi. Ia berasalan laki-laki memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk mengatur sebuah rumah tangga. Namun, bila ada revisi untuk batas usia menikah menurutnya sah-sah saja bila demi kebaikan generasi penerus bangsa.

"Bila memang itu baik, maka silahkan direvisi," kata Satori. Satori juga berharap ada pertimbangan yang matang sebelum menikah agar kehidupan setelahnya dapat lebih baik.

Sebelumnya, terdapat pengajuan untuk pengujian UU Perkawinan yang mengatur batas usia nikah perempuan. Pengajuan itu oleh Indri Oktaviani, F.R. Yohana Tatntiana W., Dini Anitasari, Sa'baniah, Hidayatut Thoyyibah, Ramadhaniati, dan Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA). Mereka mengajukan uji materi Pasal 7 Ayat (1) yang berbunyi "Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun."

Pasal 7 Ayat (2) berbunyi, "Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita." Pemohon berpendapat bahwa aturan tersebut telah melahirkan banyak praktik perkawinan anak, khususnya anak perempuan, mengakibatkan perampasan hak-hak anak, terutama hak untuk tumbuh dan berkembang. Mereka mengacu pada Pasal 28 B dan Pasal 28 C Ayat (1) UUD 1945.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement