REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Wacana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terkait legalisasi minuman keras (miras) untuk mengatasi peredaran miras oplosan dinilai tidak masuk akal oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Legalisasi miras menurut MUI tidak akan berdampak pada penyelesaian masalah miras oplosan.
"Logikanya tidak masuk," terang Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pimpinan MUI, M Luthfie Hakim, Kamis (11/12). Luthfie menganalogikan legalisasi miras untuk atasi miras oplosan dengan korupsi. Uang pelicin ada karena korupsi dilarang, akan tetapi bukan berarti untuk mengatasi adanya uang pelicin, korupsi harus dilegalkan.
Luthfie juga menyatakan legalisasi miras akan menjadi tidak tepat sasaran. Pasalnya, miras yang dilegalkan pasti memiliki harga jauh lebih tinggi dibandingkan dengan miras oplosan. Sedangkan konsumen miras oplosan merupakan masyarakat dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah.
Mereka yang menjadi pecandu merupakan rakyat kecil yang sudah terlanjur kecanduan akan tetapi tidak memiliki dana yang mencukupi. Karena itu, untuk mengatasi kecanduannya, para pecandu ini kemudian menjadikan miras oplosan sebagai jalan keluar.
Karena itu, Luthfie melihat legalisasi miras yang menawarkan miras dengan harga lebih tinggi dari miras oplosan tidak akan tepat sasaran."Tidak akan terbeli oleh mereka juga," jelas Luthfie.
Karena itu, Luthfie menyarankan lebih baik memperbaiki penegakkan hukum dari pada mengatasi miras oplosan dengan legalisasi miras. Dalam hal ini, pihak kepolisian perlu lebih lincah dalam menyidak wilayah-wilayah yang berpotensi menjadi lokasi produksi dan distribusi miras oplosan. "Polisi bekerja saja. Itu kan masalah penegakkan hukum saja," ujar Luthfie.