REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan mutasi yang dilakukan pejabat daerah terhadap pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan instansinya kerap bernuansa politis. Hal tersebut terungkap lewat laporan masyarakat yang masuk ke Ombudsman RI (ORI) sepanjang tahun ini.
Ombudsman Bidang Penyelesaian Laporan, Budi Santoso menuturkan, laporan mengenai maladministrasi di lingkungan pemerintah daerah (pemda) menempati peringkat tertinggi selama 2014. Jumlahnya mencapai 2.700 laporan (43,7 persen) dari seluruh aduan yang masuk ke ORI.
"Beberapa di antaranya mengungkapkan adanya praktik mutasi sewenang-wenang yang dilakukan pejabat daerah terhadap bawahnnya," kata Budi di Jakarta, Rabu (17/12).
Ia menjelaskan, tidak sedikit kepala daerah melakukan mutasi hanya lantaran tidak suka kepada pegawai yang bersangkutan. Selain itu, ada pula bupati atau wali kota memutasi pegawai di daerahnya karena motivasi 'balas dendam'. Antara lain dikarenakan si pejabat tersebut tidak mendukungnya ketika pemilihan kepala daerah (pilkada).
"Jadi, nuansa like and dislike dalam kebijakan mutasi itu. Ini jatuhnya diskriminasi, dan jumlah laporannya mencapai 2,8 persen dari total aduan maladministrasi di lingkungan pemda yang masuk ke ORI," ujarnya.
Budi menambahkan, instansinya telah melakukan verifikasi kepada sejumlah pejabat daerah yang diduga melakukan mutasi secara serampangan tersebut. Hasilnya, kata Budi, pejabat itu tidak mampu memberikan alasan yang wajar kepada ORI.
"Seperti yang pernah terjadi di salah satu daerah di Jawa Tengah misalnya. Ketika kami menanyakan apa alasan si pejabat daerah melakukan mutasi, yang bersangkutan hanya mengatakan itu sudah menjadi otoritas dia. Setelah kami teliti, ternyata pegawai yang dimutasi itu bukan tim suksesnya sewaktu Pilkada," jelasnya.