Rabu 17 Dec 2014 21:58 WIB

Ekonomi Rusia Ternyata Berpengaruh kepada Rupiah

Rep: C78/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Rupiah
Rupiah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fluktuasi nilai tukar rupiah yang semakin melemah dinilai terpengaruh oleh pelambatan ekonomi Rusia dan Rapat Dewan Gubernur (FOMC) The Fed. Pelambatan ekonomi Rusia dinilai mempengaruhi emerging pasar global.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara, mengatakan perekonomian Rusia yang sedang terpuruk membuat sentimen di emerging market saat ini sedang jelek. Nilai tukar rubel Rusia turun menjadi 70,72 per dolar. Menurutnya, pasar keuangan internasional kadang-kadang bisa terjadi volalitas seperti itu.

"Ini sementara, sedang kena imbas Rusia, kalau orang sudah lihat Indonesia fundamentalnya baik, kebijakan fiskal dan moneter prudent, serta kebijakan investasi bagus, nanti orang sudah lewat Rusia akan lihat lagi Indonesia, mata uang rupiah akan stabil," jelas Mirza dalam diskusi bersama media di gedung BI, Jakarta, Rabu (17/12).

BI menyangkal jika terjadi pelemahan rupiah, sebab mata uang negara lain juga melemah terhadap dolar.  Pada 2008-2009 ekonomi AS kolaps sehingga suku bunga turun dari 5 persen ke 0,25 persen. Kemudian saat ekonomi AS sudah pulih terjadi penguatan dolar terhadap mata uang negara lain.

Dibanding negara lain di dunia, rupiah melemah 4,15 persen, rubel Rusia melemah 48,83 persen, real Brazil 12,38 persen, sedangkan mata uang Filipina hanya melemah 0,6 persen karena Current Account atau transaksi berjalannya surplus.

Di sisi lain, rupiah menguat terhadap yen Jepang sekitar 8 persen, menguat 6 persen terhadap real Brasil dan 5 persen terhadap Euro.Sementara, ekonomi Cina yang awalnya sengaja dibuat lambat justru melambatnya melebihi target.

Salah satu indikator pemulihan ekonomi Amerika yakni angka pengangguran turun. Pada 2008 pengangguran di Amerika mencapai 10 persen dan saat ini turun di bawah 5 persen.

Mirza mengimbau agar masyarakat tidak panik karena fluktuasi mata uang di negara berkembang mengalami volalitas. BI menegaskan akan terus berada di pasar untuk stabilisasi nilai rupiah. Di samping, telah menaikkan suku bunga (BI rate) menjadi 7,75 persen pascakenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Jika pergerakan kurs Rp 11.900-12.300 per dolar AS, lanjutnya, maka itu‎ tidak terlalu bermasalah buat Indonesia. Namun, apabila rupiah bergerak di Rp12.00-Rp12.100 maka BI tidak melakukan intervensi karena kurs itu dirasa cocok untuk Indonesia.

Sementara, jika rupiah melebihi Rp12.300, maka BI akan lakukan intervensi. Sampai saat ini, cadangan devisa dinilai cukup untuk memenuhi lebih dari 6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri (ULN) pemerintah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement