REPUBLIKA.CO.ID, LUXEMBURG -- Obesitas tampaknya menjadi masalah serius di Uni Eropa. Baru-baru ini, pengadilan tinggi Eropa memutuskan obesitas bisa dianggap sebagai disabilitas.
Dengan adanya kebijakan ini, hukum di Uni Eropa melindungi penderita obesitas dari berbagai diskriminasi yang ada di tempat kerja.
Al Jazeera melaporkan, keputusan ini ditetapkan Kamis (18/12) menyusul adanya keluhan dari Karsten Kaltoft ke Pengadilan Denmark. Kaltoft dipecat secara tidak adil dari pekerjaannya karena masalah berat badan.
Berat badan terendah Kaltoft yaitu 160 kilogram. Menurut dia, ini adalah salah satu alasannya kehilangan pekerjaan. Ia bersikukuh mengatakan kalau hal itu melanggar hukum tentang diskriminasi.
"Saya tidak cacat. Tidak baik memecat orang begitu saja karena dia gendut, jika mereka melakukan pekerjaannya dengan baik," kata Kaltoft seperti dikutip BBC.
Pengadilan kehakiman Uni Eropa kemudian diminta memutuskan apakah hukum melarang diskriminasi berdasarkan obesitas. Pertanyaan juga muncul terkait kemungkinan kalau obesitas bisa dianggap sebagai cacat.
Pengadilan yang berbasis di Luxemburg itu menyatakan hukum ketenagakerjaan Uni Eropa tidak mengatur adanya larangan diskriminasi khusus atas dasar obesitas. Dinyatakan pula bahwa hukum tersebut tidak bisa diperlebar lagi untuk mencakup hal tersebut.
Namun, pengadilan mengatakan, jika obesitas menghalangi karyawan untuk berpartisipasi penuh dan bekerja secara efektif dalam dunia profesional, itu bisa dianggap cacat. Diskriminasi terhadap penyandang disabilitas tertuang dalam undang-undang anti diskriminasi.
Berdasarkan statistik dan badan kesehatan dunia (WHO) pada 2008, estimasi penderita obesitas mencapai 23 persen untuk perempuan dan 20 persen untuk laki-laki.