REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Di Perancis, rumah bagi populasi Muslim terbesar di Eropa, diskusi mengenai Islamofobia kembali mengemuka setelah penembakan yang menewaskan 12 orang di kantor majalah satir Charlie Hebdo, Rabu lalu.
Pakar yang mempelajari Islam di Perancis mengatakan serangan milisi itu memperdalam luka dan mengganggu upaya nasional mengatasi sentimen anti-Muslim.
"Secara pribadi saya benar-benar merasa emosional mengenai ini. Tapi sebagai seorang pakar, saya harus memberitahu anda tidak bisa menggunakan peristiwa tersebut untuk secara sistematis menghancurkan pekerjaan yang telah dilakukan untuk melindungi hak-hak Muslim," ujar Valerie Amiraux dari Canada Research Chair yang mempelajari Pluralisme Agama, dilansir dari CBC News, Kamis (8/1).
Sebelum penembakan, Paris mengantisipasi terbitnya novel keenam penulis Michel Houellebecq yang berjudul Submission. Novel fiksi tersebut bercerita tentang Partai Persudaraan Muslim yang berkuasa di Perancis pada 2022. Partai tersebut digambarkan memaksa warga Perancis yang patuh berpindah agama ke Islam.
Houellebecq adalah salah satu penulis yang cukup populer di Perancis. Ia menyebut jalan cerita novelnya itu bisa menjadi kenyataan di masa mendatang. Pada 2002 dia menangkis tuduhan memicu rasisme dengan menyebut Islam sebagai agama terbodoh.
Bersama dengan wartawan Eric Zemmour, yang dipecat bulan lalu dari sebuah acara TV atas komentar anti-imigrannya, Amiraux mengatakan, Houellebecq memimpin histeria anti-Muslim di negara itu. "Masyarakat di Perancis memiliki kecenderungan alami menjadi Islamofobia tanpa menyadari hal itu," kata Amiraux yang mengajar sosiologi di University of Montreal.
Majalah satir Charlie Hedbo kerap mengundang konroversi, terutama karena menyindir agama Islam. Pada 2011, mingguan tersebut menjadi target pemboman. Tak lama setelah berita tentang pembunuhan, Amiraux menerima panggilan dari kelompok antidiskriminasi yang meminta sarannya bagaimana menanggapi gelombang antiMuslim yang akan terjadi.
"Islam tidak memiliki peran dalam masyarakat Perancis. Ini adalah agama dari sejumlah orang yang tinggal di Perancis. Itu saja. Tapi itu juga merupakan unsur kebijakan luar negeri kami," katanya.
Perancis memiliki sejarah panjang sekularisme. Pada 2011 negara asal Napoleon Bonaparte itu melarang cadar niqab dan burka yang dikenakan perempuan Muslim.