Selasa 13 Jan 2015 07:35 WIB

Pajak Rokok Jangan Sampai Diselewengkan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Keuangan memberlakukan pajak ganda terhadap industri rokok. Selain dikenai cukai, pemerintah melalui UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), sektor tembakau juga dikenakan pajak.

Namun, meski sudah diberlakukan, regulasi itu dinilai tidak pas. Pemerintah hanya berpikir menambah pundi anggaran dan menafikan kepentingan petani tembakau. 

"Pajak sektor tembakau rokok memang sangat besar tapi sayangnya tidak pernah dikembalikan lagi untuk kepentingan tembakau. Misal PDRD ini diolah oleh tiap pemda tanpa ada kejelasan peruntukannya dan sering tidak tepat sasaran," tegas Peneliti Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Uchok Sky Khadafi, saat dihubungi wartawan, Senin (12/1).

Ia menambahkan, seringkali anggaran yang didapat dari PDRD, salah satunya didapat dari industri tembakau tersebut, malah dipakai untuk perjalanan dinas pejabat, rapat-rapat pejabat, bukan anggaran itu digunakan lagi agar bisnis tembakau di daerah bisa tetap bergerak meski dikenakan pajak tinggi.  "Seringkali duit pajak PDRD itu malah dipakai untuk perjalanan dan rapat-rapat," tegas Uchok.

Ia menilai, seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah juga menekan industri tembakau dengan beragam regulasi. Namun, pemerintah daerah juga memanfaatkan dana dari pungutan tembakau untuk kepentingan-kepentingan lain para pejabat di daerah. "Untuk rapat-rapat bahkan diduga anggaran PDRD itu masuk kantong pejabat," tegasnya.

Ia mewanti-wanti pungutan pajak rokok dalam PDRD ini pada akhirnya juga dinikmati oleh kepentingan industri farmasi dengan dalih dana PDRD harus dipakai untuk kepentingan kesehatan dengan dalih mengobati mereka yang sakit akibat rokok. "Jadi regulasi PDRD untuk tembakau dua yang menikmati yakni pemda dan industri farmasi, sementara petani tidak sama sekali," papar Uchok.

Pada akhinya, praktik pengenaan pajak ganda (cukai rokok dan pungutan atas cukai rokok) merupakan pajak ganda yang bertentangan dengan prinsip kepastian hukum sehingga PDRD berpotensi melanggar konstitusi. Pengenaan pajak ganda semacam ini dinilai mendiskriditkan konsumen rokok.

Catatan saja, penggunaan hasil Pajak Rokok Daerah, seusai UU, minimal 50 persen harus digunakan untuk kepentingan kesehatan masyarakat khususnya penanganan penyakit yang berhubungan dengan merokok. Selain itu, dapat digunakan untuk melakukan penegakan hukum terkait dengan penegakan perda yang mengatur Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

Uchok mengingatkan, bahwa penggunaan dana itu harus diawasi bersama-sama. "Tentu saja haru diawasi karena nilainya triliunan rupiah," tandasnya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement