REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kebijakan Presiden Joko Widodo membentuk tim independen dalam kisruh KPK dan Polri dinilai hanya meng-copy paste kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menangani kisruh KPK dan Polri terjadi di masa lalu.
Pakar hukum pidana Universita Islam Indonesia, Muzzakir mengatakan kebijakan pembentukan tim independen tidak ada urgensinya. Menurutnya, Jokowi hanya meniru apa yang telah dilakukan SBY.
"Kebijakan pembuatan tim independen itu meniru apa yang sudah dilakulkan pemerintahan SBY," katanya, Senin (26/1).
Pada kisaran 2009, perseteruan KPK dan Polri pertama kali terjadi. Kala itu, perseteruan melibatkan komisioner KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah yang ditahan oleh Bareskrim Polri.
Tak hanya itu, Ketua KPK Antasari Azhar pun ditahan karena diduga terlibat kasus pembunuhan. Dengan tiga pimpinan yang tersangkut hukum, maka hanya menyisakan dua orang komisioner KPK.
Presiden SBY pun diminta turun tangan. Akhirnya dibentuk tim independen pencari fakta kasus Bibit-Chandra. Tim dipimpin pengacara senior Adnan Buyung Nasution dan terdiri dari delapan orang. Tim itu pun diberi nama tim delapan.
Tim ditugaskan untuk mencari fakta atas kasus yang menjerat Bibit-Chandra. Hasilnya, tidak ada bukti cukup agar kasus tersebut dibawa ke pengadilan.
Ia pun berpendapat tugas tim independen bentukan Jokowi tak berbeda dengan tim delapan bentukan SBY. Yang jelas, lanjutnya, tim harus difokuskan pada pengusutan oknum-oknum dari kedua instansi yang diduga melakukan tindak pidana.
"Yang mesti ditekankan adalah membersihkan lembaga penegak hukum dari oknum oknum berperilaku negatif,” katanya.
Meskipun ia menilai tim independen bisa berpeluang mencederai profesionalitas hukum di Indonesia.
“Dengan kewenangann yang berlebiah ini bisa menimbulkan kesewenangan lembaga penegak hukum,” kata dia.