Senin 26 Jan 2015 18:36 WIB

Perkampungan di lereng Sinabung yang Lengang

Rep: C60/ Red: Julkifli Marbun
  Gunung Sinabung kembali meluncurkan awan panas ketika terlihat di Desa Surbakti, Simpang Empat, Karo, Sumut, Jumat (17/10).  (Antara/Septianda Perdana)
Gunung Sinabung kembali meluncurkan awan panas ketika terlihat di Desa Surbakti, Simpang Empat, Karo, Sumut, Jumat (17/10). (Antara/Septianda Perdana)

REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Beberapa perkampungan yang terletak di lereng gunung Sinabung masih tampak lengang tanpa aktivitas. Kendati kampung tersebut berada di luar radius yang disterilkan, warga kampung lebih memilih berada di pengungsian.

Kampung Singgarang-Garang, Kecamatan Naman Teren, Kabuoaten Karo yang terletak di radius 3.5 kilometer tampak lengang. Dari kampung tersebut, gunung Sinabung seoalah menjadi atap yang menaungi kampung dengan hawanya yang sejuk.

Kampung yang berada di sebelah timur gunung Sinabung itu dulunya ramai oleh aktivitas 400 keluarga. Namun, kini tak ada aktivitas berarti yang dilakukan warga di kampung tersebut. Saat ini, kampung itu tak lebih dari sebuah kampung mati.

Sebelum memasuki perkampungan itu, Republika disambut oleh ratusan hektar ladang yang berwarna putih tanpa tanaman sayuran apapun. Warna putih itu merupakan tumpukan debu vulkanik yang menutupi ladang. Kini, hektaran ladang itu tak bisa ditanami apapun.

Sesampainya di perkampungan, Republika disambut oleh ratusan ratusan rumah yang hampir tak bisa dihuni. Sebagian besar rumah di kampung itu mengalami kerusakan di bagian atapnya, akibat tertimpa matrial gunung Sinabung.

Tidak hanya rumah warga, salah satu Masjid Al Ikhlas di kampung tersebut pun tak lepas dari amukan gunung Sinabung. Masjid berwarna hijau yang terbuat dari kayu ini, tak beratap. Puluhan Jendela pun telah lepas lepas. Di dalamnya, hanya terdapat tulisan Allah dan Muhammad yang masih terpaku di saming kanan dan kirim tempat imam.

Tak kalah parah, jalan perkampungan yang dulunya diaspal baik, kini mengelupas dan hanya menyisakan bebatuan, sebab tergerus oleh air yang mengandung matrial dari gunung.

Beruntung, Republika berjumpa dengan beberapa warga yang sudah kembali ke rumah masing-masing. Salah satunya adalah Rencana Ginting. Warga berusia 50 tahun merupakan salah seorang warga yang telah kembali ke  kampungan Singgarang-Garang. Dia mengaku telah kembali menetap di kampung tersebut sejak empat bulan lalu.

Rencana mengaku tidak khawatir untuk menetap lagi di kampungnya. “Sudah lama kampung kami dinyatakan aman oleh pemerintah,” ujar Rencana Ginting kepada Republika di kampung Singgarang-Garang, Senin (26/1).

Dia mengatakan, sebagian besar penduduk kampungnya masih bertahan di pengungsian. Hanya beberapa puluh warga yang kerap kembali ke kampungnya itu. Kebanyakan warga, kata dia, telah datang ke kampung sekedar untuk membersihkan rumahnya dari sisa matrial sambil menjaga perkampungan dari pencurian.

Walau demikian, dia mengaku tetap siaga kalau nanti status gunung Sinabung meningkat kembali. “Ya kalau nanti ada perubahan lagi, dan dinyatakan harus pergi, ya lari juga,” kata dia sambil tertawa.

Dia menjelaskan bahwa sebenarnya warga Singgarang-garang  sudah ingin kembali ke kampung mereka. Sebab, di Pengungsiaan tidak senyaman berada di rumah sendiri. Selain itu, mereka khawatir tidak ada pasokan makanan untuk mereka di perkampungan. “Kalau di pengungsian, ada makanan dan minum,” ujarnya.

Warga Singgarang-garang, kata Rencana Ginting bukanlah warga yang malas dan tidakn ingin bekerja. Kebanyakan warga ingin segera berkebun sebeperti biasa, namun sayangnya ladang mereka tak bisa ditanami apapun. Ladang mereka masih diselimuti oleh debu vulkanik hingga puluhan centimeter.

Warga lain bernama Edi Sitepuh mengajak Republika menyaksikan langsung lahan miliknya. Lahan seluas 500 yang dulu biasa ditanami kol, padi dan kopi ini hanya menyisakan hamparan tanah berwarna putih, yang terbuat dari tumpukan abu vulkanik Sinabung.

Untuk membuktikannya dia mencangkul ladannya, dari hasil cangkulannya tampak beberapa lapisan tanah berwarna putih yang tebuat dari endapan abu vulkanik. “Mana bisa kita menanam dengan ladang macam ini,” kata dia.

Dia mengatakan abu  vulkanik sedalam puluhan centi ini tidak bisa dia hilangkan dengan hanya menggunakan cangkul. Salah satu solusi terbaik untuk memperbaiki ladangnya adalah dengan mendatangkan alat berat.

Edi berharap Pemerintah bisa membantu warga dengan mendatangkan alat berat dan membuang material sinabung di atas ladangnya. Jika hanya dibersihkan menggunakan cangkul, paling tidak dia akan membutuhkan waktu hingga empat bulan hanya untuk membersihkan ladangnya.

Edi mendengar adanya bantuan pemerintah untuk pengolahan ladang warga sebesar Rp 50 ribu perwarga perhari. Menurut dia, anggaran itu kurang efektif untuk pengolahan ladangnya.

“Saya berharap pak jokowi membantu kami dengan alat berat saja. Kalau uang segitu kurang efektif, dan akan banyak makan waktu,” kata dia.

Edi Sitepuh dan Rencana Ginting merupakan dua warga yang rumahnya masih bisa dihuni. Semua warga mereka akan dikembalikan ke rumah masing-masing pada tanggal 1 Februari 2015 nanti.

Nasib mereka terhitung lebih mujur dari pada beberapa desa yang tidak bisa dihuni lagi. Seperti Tika Br Karo (18). Warga desa Simacem, kecamatan Naman Teran, kabupaten Karo ini sudah merasa jenuh di pengungsian.  "Nggak betah bang. Di sini kotor, ribut, bau, banyak nyamuk," kata dia kepada Republika di barak pengungsian Universitas Karo (UKA), Senin (26/1).

Bagaimana tidak ramai, ribuah orang dari berbagai usia, tumplek mengisi ruang-ruang kelas UKA. Kebisingan pun akan selalu ada. Karena ratusan anak kecil di kamp pengungsian tak henti berlarian

Namun itu semua akan berkurang pada awal bulan esok. Tepatnya pada tanggal 1 Februari 2014 para pengungusi di luar kawasan tiga kilometer dari lereng sinabung akan dipulangkan.

Namun tika tidak bisa kembali. Karena rumah dia telah menjadi jalur aliran lahar dingin gunung Sinabung.  Selain warga desanya, warga desa Bakerah dan desa Suka Meriah juga akan direlokasi di tempat baru di Siosar, kecamatan Merek, Kabupaten Karo.

Walau demikian, dia tidak mengetahui pasti, kapan relokasi akan segera dimulai. “Kami ingin segera dipindah lah bang, biar mamak bisa berkebun lagi. Kalau di sini (pengungsian) nggak bisa," katanya.

Hal serupa juga dirasakan Perwira Ginting, salah seorang warga desa Bekerah, Kecamatan Naman Teran, Karo. Kampung perwira juga merupakan kampung yang tidak dapat dihuni lagi. Dia dan keluarganya tidak dapat lagi berharap untuk kembali tinggal di rumah yang dia tinggali sejak kecil.

Dia mengaku sedih lantaran menginggalkan banyak kenangan di kampungnya yang terletak hanya 2.5 kilometer dari puncak gunung. Saat ini dia mengaku menyewa rumah sebagaimana imbauan pemerintah.

Untuk melanjutkan hidup dia memilih manjadi buruh tani. Dia mengaku, menjadi buruh tani dia digaji sebesar Rp 50 ribu per hari. “Ya kadang, tanaman jeruk, cabe, semua lah,” ujarnya.

Seperti Tika, dia juga mengaku ingin segera direlokasi ke hunian tetap yang disediakan Pemerintah.  Sehingga dia bisa memulai kehidupannya yang baru di hunian barunya.

Perwira mengatakan, bahwa dirinya  siap untuk memulai hidup baru di kawasan baru. “Siap lah bang. Nanti kami berladang lagi,” kata dia. Namun demikian, dia tetap berharap adanya bantuan untuk kelangsungan hidupnya dan keluarganya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement