REPUBLIKA.CO.ID,
Setiap manusia di dunia ini pasti pernah mengalami cobaan dan ujian dari Allah SWT. Ada yang menjalaninya dengan tetap sabar dan ada pula yang sebaliknya.
Pendirian yayasan dengan membawa nama tunanetra ini hadir bukan tanpa alasan. Alasan utama, Joni mengakui sebagian besar perintisnya termasuk dia dan R Halim Saleh merupakan penderita tunanetra.
Oleh sebab itu, dengan menghadirkan pengajian khusus tunanetra tersebut menjadi bagian penting bagi mereka demi mengasah kemampuan mengaji yang lebih baik.
Saat itu, di wilayah Jakarta memang belum ada majelis atau pesantren yang membina secara khusus untuk para penyandang tunanetra.
Ketua Dewan Pembina Raudhatul Makfufin ini menyatakan, ketika itu hanya daerah Yogyakarta yang memiliki pembinaan khusus bagi para tunantera.
Bersama kawan-kawannya, Joni berusaha merintis pusat pembinaan tunanetra di Jakarta. Bahkan, mereka bercita-cita mampu memproduksi Alquran blaire sendiri. Bersama kawan seperjuangannya, Joni benar-benar berusaha bisa memajukan Pesantren Raudhatul Makfufin.
Tahun 1990-an, Joni mengisahkan, Pesantren Raudhatul Makfufin yang dibina berhasil menyusun software untuk memproduksi Alquran blaire. Penyusunan ini tentu tidak mudah.
Akhirnya, cita-cita Joni dan kawannya itu pun berhasil. Mereka berhasil menggapai target mereka, yakni memproduksi Alquran blaire. Produksi ini diharapkan bisa membantu para tunanetra yang berada di wilayah Jakarta.
Untuk jamaah sendiri, Joni mengaku sudah memiliki sekitar 50 hingga 60 jamaah dari wilayah Jakarta dan sekitarnya. Para jamaah tersebut, kata dia, ada yang berasal dari Serang, Bekasi, dan Depok.
Joni mengaku semangat para jamaah untuk mengaji begitu besar. Meski memiliki kecacatan dalam tubuhnya, mereka tak khawatir untuk bepergian jauh demi memperoleh ilmu agama.
Sebagai wujud apresiasi, Joni menyatakan selalu memberikan uang transpor dan makan siang bagi para jamaah yang aktif menimba ilmu di Pesantren Raudhatul Makfufin.
Ia mengungkapkan, alasan memberikan uang sekitar Rp 30 ribu per orang dan makan siang. “Inilah yang membuat lembaga kami agak berbeda dengan lainnya. Sebab lembaga mana yang memberikan uang transpor bagi jamaahnya?” kata Joni seraya tersenyum.
Pengurus Yayasan Tunantera Abdurrahman menyatakan, hasil produksi Alquran blaire memang menjadi salah satu sumber dana bagi keberlangsungan yayasan. Harga penjualan satu set Alquran blaire Rp 1,5 juta. Untuk satu set, Rahman melanjutkan, terdiri atas 30 buku yang merujuk pada jumlah juz dalam Alquran.
Menurut Rahman, dalam sehari jika tidak ada halangan, yayasan bisa memproduksi sekitar tiga hingga lima buku dalam sehari. Buku ini sendiri mereka jual di berbagai daerah. “Pekerja Alquran ini sendiri yang mengajarkan dua orang normal,” ujar laki-laki yang mengalami cacat mata sejak lahir itu.
Rahman menyatakan, untuk jamaah Pesantren Raudhatul Makfufin tersebut, mereka tidak harus membayar untuk memiliki Alquran.
Menurutnya, Yayasan dan Pesantren Raudhatul Makfufin ingin mewakafkan Alquran ini kepada para jamaah. “Saya berharap, semoga Yayasan dan Pesantren Raudhatul Makfufin bisa berkembang pesat dan membuka cabang di berbagai daerah,” kata Rahman penuh harap.