Rabu 04 Feb 2015 06:32 WIB

Apa Makna Nur yang Dibahas Alquran?

 Seorang jamaah haji membaca kitab suci Alquran di puncak Jabal Rahmah, Arafah, Jumat (3/10).  (Reuters/Muhammad Hamed)
Seorang jamaah haji membaca kitab suci Alquran di puncak Jabal Rahmah, Arafah, Jumat (3/10). (Reuters/Muhammad Hamed)

Oleh: Hafidz Muftisany

 

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Nur yang dalam bahasa Arab diartikan dengan cahaya dan disebut dalam Alquran sebanyak 43 kali. Bahkan, surah ke-24 juga diberi nama dengan an-Nur. Begitu banyaknya Alquran membahas tentang eksistensi nur.

Lantas sedalam apakah makna nur yang dibahas Alquran? Eksistensi dan urgensi kalimat nur tentu tak hanya sebatas didefenisikan dengan cahaya saja.

Secara etimologis, cahaya adalah sesuatu yang menyinari suatu objek sehingga objek tersebut menjadi jelas dan terang. Menurut pakar tata bahasa Arab Ibrahim Anis dalam al-Mujam al-Wasth, nur adalah cahaya yang menyebabkan mata dapat melihat. Sementara itu, Muhammad Mahmud Hijazi, seorang ahli tasawuf mengatakan, nur adalah cahaya yang tertangkap oleh indra dan dengannya mata dapat melihat sesuatu. Selanjutnya pengertian ini berkembang dengan makna petunjuk dan nalar.

Penulis Tafsir al-Mizan as-Sayyid Muhammad Husein at-Tabataba’i menjelaskan, pengertian awal dari kata nur adalah sesuatu yang tampak dengan sendirinya. Selanjutnya, hal ini juga menyebabkan hal lainnya yang bersifat sensual (naluriah, implisit) menjadi tampak.

Definisi ini berkembang lebih luas, yaitu setiap alat indera dipandang sebagai nur atau mempunyai nur, dan dengannya hal-hal yang sensual dapat terlihat. Selanjutnya, pengertian ini berkembang lagi hingga mencakup yang nonsensual, termasuk akal juga dikatakan sebagai nur karena ia dapat menyingkap hal-hal yang abstrak.

Ibnu Sina (980-1037) pernah ditanya tentang pengertian nur pada surah an-Nur ayat 35. Ia menjawab, kata nur mengandung dua makna, yaitu esensial dan metaforis. Adapun yang esensial berarti kesempurnaan keheningan karena nur itu pada dirinya bersifat bening. Sedangkan makna metaforis harus dipahami dengan dua cara, yaitu sebagai sesuatu yang bersifat baik atau sebagai sebab yang mengarahkan kepada yang baik.

Sedangkan, pakar tafsir al-Isfahani membagi pengertian nur ke dalam arti material (duniawi) dan arti spiritual (ukhrawi). Nur dalam arti material adalah cahaya yang dapat dilihat dan ditangkap di dunia. Arti material ini dibedakan lagi menjadi dua, yaitu arti abstrak dan arti konkret. Arti abstrak berarti cahaya yang hanya dapat ditangkap oleh mata hati (basirah). Kedua, arti konkret atau sensual (makhsus) merupakan cahaya yang dapat ditanggap oleh mata kepala. Sedangkan nur dalam arti spiritual ialah cahaya yang akan dilihat di akhirat kelak.

Dalam Alquran, kata nur paling tidak memiliki arti dalam tiga kemungkinan. Pertama, cahaya itu sendiri. Hal ini seperti terdapat dalam surah Yunus ayat 5, "Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan memiliki nur (bercahaya). Dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya".

Kedua, bermakna petunjuk. Hal ini seperti yang terdapat dalam surah al-Hadid ayat 9, "Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang terang (Alquran) supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada nur (cahaya)".

Ketiga, bermakna Alquran. Hal ini seperti yang terdapat dalam surah at-Tagabun ayat 8, "Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada cahaya (Alquran) yang telah Kami turunkan".

Makna dasar kata nur sebenarnya adalah petunjuk karena nur dalam arti cahaya itu sendiri petunjuk. Sedangkan Alquran berfungsi sebagai petunjuk bagi orang yang tersesat atau orang yang sedang mencari kebenaran. Nabi Muhammad SAW disebut juga nur karena Beliau diyakini sebagai orang yang membawa petunjuk atau menunjukkan jalan yang benar.

Al-Gazali dalam kitabnya Misykat al-Anwar mengatakan, kedudukan Alquran bagi mata akal sama seperti kedudukan cahaya matahari bagi mata lahiriah. Sebab, hanya dengan itulah sempurna penglihatan. Dengan itu pula Alquran lebih patut menyandang nama nur sebagaimana sinar matahari biasa dinamakan cahaya.

Menurut al-Gazali, hakikat nur yang sebenarnya hanyalah Allah SWT, sedangkan sebutan cahaya bagi selain Dia hanyalah kiasan, tak ada wujud sebenarnya. Karena itu, al-Gazali membedakan makna nur pada pengertian di kalangan orang awam dan kalangan orang khusus.

Nur dalam pengertian orang awam merujuk kepada sesuatu yang tampak. Sedangkan ketampakan itu adalah sesuatu yang nisbi. Adakalanya sesuatu tampak dengan pasti bagi suatu pandangan pada saat ia bersembunyi bagi pandangan lainnya. Cahaya adalah sebutan sesuatu yang tampak dengan sendirinya ataupun yang membuat tampak benda lainnya.

Nur dalam pengertian orang khusus adalah jiwa yang melihat. Rahasia cahaya adalah kenampakannya bagi suatu daya cerap. Akan tetapi, pencerapan tidak hanya bergantung pada adanya cahaya, tetapi juga pada adanya mata yang memiliki daya lihat. Meskipun cahaya disebut sebagai sesuatu yang tampak dan menampakkan sesuatu, tidak ada suatu cahaya yang tampak dan menampakkan sesuatu bagi orang buta.

Di kalangan kaum sufi istilah nur biasanya dinisbahkan dengan Muhammad SAW sehingga menjadi ungkapan Nur Muhammad atau Halaqah Muhammadiyah. Konsep Nur Muhammad pertama kali dibawakan oleh al-Hallaj (858-922).

Teori tentang adanya nur atau Nur Muhammad ini berdalil dengan penafsiran surah an-Nur ayat 35 yang menyebutkan, "Allah adalah cahaya langit dan bumi". Kata nur pada ayat ini ditafsirkan dengan Nur Muhammad. Allahu A'lam.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement