REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mesti meningkatkan pengawasan terhadap kualitas garam yang beredar di pasar secara berkala. Pengawasan tersebut lantas ditindaklanjuti dengan sosialisasi dan edukasi kepada pedagang dan konsumen agar melakukan jual beli garam yang memenuhi standar kesehatan.
Pasalnya, berdasarkan hasil survei garam di kawasan Jakarta Utara yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dari 294 produk garam yang diuji, hanya 58,8 persen garam memenuhi syarat kandungan iodium di atas 30 part per milion (ppm).
"Perlu dilakukan pemantauan dan penegakkan hukum agar peredaran garam dijamin memenuhi SNI," kata Pengurus Harian YLKI Husna Zahir, Selasa (10/2).
Pemantauan yang ditindaklanjuti upaya edukasi penting, sebab masih banyak pula produk garam yang tidak memiliki izin edar berupa pendaftaran Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Berdasarkan survei terhadap 28 pasar dan desa yang dipilih secara acak berdasarkan Data Potensi Desa 2007, hampir semua produk tidak mencantumkan alamat perusahaan atau produsen yang jelas. Ketika menanyakan alamat produsen dengan menelusuri waktu izin edar dari BPOM, justru muncul temuan bahwa produk tidak diperpanjang masa kadaluarsanya. Dari 12 perusahaan yang diperoleh alamatnya, hanya 6 produsen yang menanggapi.
Dia menegaskan, SNI garam beryodium bersifat wajib dan izin edar seharusnya berupa Nomor Pendaftaran yang dikeluarkan oleh BPOM. Sementara temuan di lapangan, izin edar yang ditemukan di pasar bervariasi di mana dari 76 sampel atau 25,8 persen tidak mencantumkan nomor pendaftaran sama sekali.
Selain itu, marak pula produsen yang menggunakan penandaan SNI dan label halal yang tidak benar, entah sumbernya, entah cara memeroleh labelnya. "Sebagian sampel mencantumkan logo halal dengan penandaan yang berbeda-beda," tuturnya. Ada pula pelabelan halal pada garam dari hasil klaim si produsen itu sendiri.