Selasa 17 Feb 2015 00:00 WIB

‘Mancing Plus-Plus’, Modus Senyap Prostitusi Surabaya (1)

Rep: Andi Nurroni/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Prostitusi - ilustrasi
Foto: Antara
Prostitusi - ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Andi Nurroni

Memancing, bagi sebagian orang adalah hiburan untuk melepaskan kepentatan. Bagi sebagian lainnya, memancing menjadi sumber mata pencaharian. Namun di Surabaya, memancing rupanya bisa juga menjadi modus prostitusi.

Hal itu terjadi di bantaran Kali Jagir, di sekitar Pintu Air Jagir. Sejak lama, kawasan Pintu Air Jagir memang dikenal sebagai tempat pemancingan. Tak peduli pagi, siang atau malam, banyak para bapak bertengger di tepian kali untuk mengail macam-macam ikan. Ada lele, patin, mujair dan masih banyak lagi.

Cerita tentang dunia memancing para bapak hidung belang mula-mula saya dapat dari seorang ibu penjaga warung kopi di sekitar Pintu Air Jagir. Ahad (8/1), saya datang ke lokasi untuk meliput aktivitas para pemancing. Itu sebelum perhatian saya teralihkan oleh cerita si ibu penjaga warung.

Kata si Ibu, selain banyak yang benar-benar memancing, ada juga yang pura-pura memancing alias ‘mancing plus-plus’. “Ya, bilangnya ke istri mau mancing, padahal mau mancing duyung bergincu di sebrang kali?” ujar dia seraya tersenyum.

Bagi sebagian lelaki, memancing di Kali Jagir rupanya menjadi siasat mengelabui pasangan. Mendapat ikan atau tidak itu urusan nomor dua. Hal terpenting dan lebih menghibur bagi merka adalah pergi main ke seberang kali, ke tempat prostitusi murah-meriah. Oleh orang sekitar, tempat itu disebut Kampung Baru.

Menuju Kampung Baru, para pemancing dari tepian selatan Kali Jagir bisa berjalan melintasi pintu air yang memotong sungai, serupa jembatan. Bagi pengunjung yang tidak menggunakan modus memancing, mereka bisa langsung berkelok dari Jalan Ngagel di sebelah barat atau dari Jalan Raya Nginden di sebelah timur.

Cerita ibu warung tentang para pemancing hidung belang terbukti bukan isapan jempol. Selepas tengah hari, saya membuktikan sendiri kebenaran informasi tersebut. Masuk dari dari sisi selatan sungai, saya berjalan melintasi pintu air menuju tepian kali.

Pintu Air Jagir merupakan bangunan peninggalan Belanda yang dibuat pada 1917. Hingga kini, fasilitas pengendali air tersbut masih berfungsi baik mengatur debit air, entah untuk mencegah banjir ataupun menjaga pasokan air baku ke PDAM setempat.

Ketika saya datang, Pintu Air Jagir cukup ramai dengan manusia. Tempat itu agaknya menjadi persinggahan dan naungan bagi banyak orang. Mulai dari penjual alat-alat memancing, tukang beca, pemulung, hingga para pencari ikan sendiri.

Atmosfer prostitusi mulai terasa ketika seorang perempuan bercalana mini dan berkaus singlet melintas di sekitar saya. Perempuan berusia 35-an tahun itu mengerlingkan matanya kepada saya sambil memainkan alis sebagai isyarat. Aih, Saya hanya sanggup tersenyum lalu melemparkan pandang ke arah lain.

Dari Mbah Min (bukan nama sebenarnya), saya menggali cerita lebih dalam. Mbah Min adalah seorang pemulung yang mengumpulkan sampah-sampah sungai di Pintu Air Jagir. Sehari-hari, kakek 65 tahun itu tidur di sana, di atas becak yang kini sudah tak kuat lagi dia tarik.

Mbah Min mengaku sudah 40 tahun hidup di sekitar Pintu Air Jagir. Bermodalkan segelas kopi, saya menggoda dia dengan berbagai pertanyaan. Kakek kurus itu membenarkan, memang banyak pemancing nakal yang sering berkunjung ke Kampung Baru di seberang sungai sana, terutama di malam hari.

Bahkan, menurut dia, pernah kejadian seorang pemancing dicari-cari istrinya. “Dia bilang sama istrinya mau mancing, terus sama istrinya dicari ke kali, dianya ndak ada. Ya, ke situ,” ujar Mbah Min sambil menudingkan dagunya ke lokasi prostitusi di seberang kali.

Menurut Mbah Min, prostitusi di kampung pinggir Kali Jagir sudah lama ada. Sayang, dia kesulitan mengingat kapan persisnya lokalisasi itu ada. Modus ‘mancing plus-plus’ pun menurut dia sudah berlangsung lama. Jika benar cerita kakek beruban itu, desas-desus ‘mancing plus-plus’ hanya bergulir di komunitas sekitar Pintu Air Jagir.

Hal lucu lainnya, Mbah Min bercerita. Para pemancing nakal itu tidak benar-benar peduli mendapat ikan atau tidak. Karena, menurut Mbah Min, ikan bisa dibeli dari sesama pemancing atau dari nelayan sungai yang biasa menjerat ikan dengan jaring. Hal itu, menurut dia, banyak dilakukan para pemancing hidung belang.

Cerita lebih sahih saya dapat dari Rani (bukan nama asli), seorang PSK yang sedang beristirahat di bawah pilar beton Pintu Air Jagir. Perempuan kurus berpenampilan lusuh itu tampak masih linglung karena baru terbangun dari tidur siangnya. Ketika saya datang sebelumnya, dia masih terbaring pulas di atas beton berlas karpet.

Perempuan 27 tahun itu datang mendekat ketika saya panggil sambil dengan mengacungkan cangkir kopi. Insting ‘berburu’-nya seperti langsung menyala merespon panggilan saya. Ia berjalan menghampiri saya dan Mbah Min. Ia menolak tawari kopi saya dengan gelengan kepala. “Saya mau yang dingin,” kata dia.  

Rani berjalan ke lapak penjual minuman, lalu datang kembali dengan segelas minuman suplemen. Kami duduk di lantai beton, sementara Mbah Min nangkring di atas becaknya. Setelah sedikit berbasa-basi, saya ajukan pertanyaan-pertanyaan yang mulai menjurus pada pekerjaannya. Soal kisah para pemancing hidung belang itu, Rani membenarkan cerita tersebut.

Kata dia, di antara para pemancing nakal, ‘mancing plus-plus’ sudah menjadi rahasia umum. “Kadang pancingannya dititip sama temannya di pinggir kali, dianya pergi. Kadang ada juga yang dibawa (alat pancingnya),” ujar Rani polos.

Rani melanjutkan ceritanya, selain pemancing, pelanggan lokalisasi Kampung Baru umumnya adalah kelompok masyarakat pinggiran. Ia menyebut beberapa di antaranya, seperti penarik becak, tukang bangunan, kuli pasar. Namun begitu, menurut dia, di malam hari, banyak juga anak-anak muda, mulai daris anak SMA sampai mahasiswa.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement