REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Film 2014 resmi dirilis, Senin (16/2). Film bertema dunia politik di Indonesia ini diproduksi Mahaka Pictures bekerjasama dengan Dapur Production. Bercerita tentang peristiwa yang terjadi 40 hari sebelum pemilihan umum Indonesia berlangsung.
Ketika itu, Bagas Notolegowo (Ray Sahetapy), Faisal Abdul Hamid (Rudy Salam), dan Syamsul Triadi (Akri Patrio) yang menjadi kandidat dari partai yang berbeda tengah bersaing menjadi orang nomor satu di Tanah Air.
Hanya dalam waktu singkat, sekitar satu bulan sebelum pemilu digelar Bagas terlibat kasus pembunuhan seorang kepala Departemen Keuangan. Yakin dijebak pihak yang tak menginkan terpilihnya Bagas, Ricky Bagaskoro (Rizky Nazar), putra sulung calon presiden paling diunggulkan itu mencari cara.
Ricky pun meminta agar Khrisna Dorojatun (Donny Damara), seorang pengacara yang dikenal bersih namun handal membela kliennya untuk menolong ayahnya.
Tak hanya sekadar diam menunggu, cara-cara berbahaya seperti memeriksa Tempat Kejadian Perkara (TKP) pembunuhan juga ditempuh olehnya. Semua hanya untuk satu tujuan, yaitu kebenaran dan keadilan untuk orang tak bersalah.
Film ini digarap sutradara muda Rahabi Mandra dan Hanung Bramantyo. Kembali mengangkat isu-isu hangat kontroversial yang terjadi di tengah masyarakat saat ini, Hanung menganggap adanya kontroversi dari pihak yang kontra merupakan hal wajar.
"Setiap film pasti ada kontroversi itu biasa. Tapi yang jelas, 2014 bisa memberi inspirasi kepada anak-anak muda agar dapat bersikap kritis," ujar Hanung dalam acara premiere film 2014 di Epicentrum, Jakarta (16/2).
Seperti diketahui, Pria kelahiran Yogyakarta, 1 Oktober 1975 ini kerap membuat film-film yang mengangkat tema-tema hangat namun bersifat kontroversial di mata masyarakat.
Seperti halnya Perempuan Berkalung Sorban yang dinilai memperburuk citra pesantren, sebagai tempat menimba ilmu terutama agama Islam yang kolot dan anti perubahan.
Tak hanya itu, film tanda tanya (?) juga memunculkan kontroversi, terutama dari organisasi masyarakat Islam karena menilai banyak ajaran pluralisme di dalamnya.
Tetapi, dalam film 2014, Hanung menjelaskan terdapat makna positif yang terkandung di dalamnya untuk membangkitkan semangat membela negara.
Pria berusia 39 tahun ini menjelaskan banyak pemuda-pemudi di tengah kita saat ini yang memiliki pemikiran idealis, namun takut untuk terlibat secara langsung membela negara.
Dalam 2014 ketakutan itu harus ditepis dengan keberanian sehingga konsistensi hukum dan keadilan di Indonesia dapat ditegakkan setinggi-tingginya.
"Saya membayangkan anak-anak remaja SMA mungkin tak perlu lagi hanya memikirkan masalah cinta-cintaan, tapi isu yang lebih berat seperti politik. Mereka bisa aktif terlibat untuk menyelamatkan negara," jelas Hanung.
Selaku produser film 2014, Celerina Judisari juga mengungkapkan proses pembuatan film bertema drama politik ini bukanlah hal yang mudah. Terutama, agar cerita yang disajikan dapat dengan mudah diterima serta dimengerti seluruh lapisan masyarakat.
"Menyajikan film drama politik tidak mudah. Butuh waktu panjang dalam menyelesaikan prosesnya karena kami ingin 2014 menjadi film yang bisa dimengerti semua orang," kata Celerina.
Sesuai dengan judul, film ini sebenarnya hendak dirilis pada 2014 lalu. Bahkan, proses syuting untuk film ini seluruhnya sudah dilakukan pada 2013. Namun, terdapat proses editing yang mengharuskan peluncuran film ditunda.
Selain itu, para kru produksi menganggap waktu rilis pada 2014 bukanlah momen yang tepat mengingat banyaknya rangkaian kegiatan yang meramaikan mata masyarakat Tanah Air. Salah satunya adalah situasi politik, yakni pemilihan umum partai politik dan calon presiden serta wakil presiden dilaksanakan.
"Karena pada 2014 ada pemilu yang dramatis sekali, bahkan lebih dramatis dari film ini, kami sepakat untuk tahan rilisnya. Alhamdulillah bisa di momen yang pas saat pada Februari 2015 ini," tambah Hanung.