REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pemerintah dinilai harus bertanggungjawab penuh atas nasib orang rimba dan tidak bisa menyalahkan siapapun, karena mereka adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak yang sama serta dilindungi oleh undang-undang, kata dosen Ilmu Sosial Universitas Jambi Idris Sardi.
Ketika menanggapi kasus kematian 11 orang anak rimba dari Suku Anak Dalam (SAD) yang ada di Jambi, Senin, dia mengatakan, hal itu disebabkan karena wabah penyakit, bukan karena eksploitasi lahan perkebunan sektor swasta seperti digaungkan kalangan LSM.
Menurut dia, hutan yang biasa digarap Suku Anak Dalam telah dijadikan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) sehingga pemanfaatannya dibatasi.
Dia menjelaskan, tim kesehatan dan pemprov sudah mengidentifikasi dan menemukan fakta bahwa kematian orang rimba itu disebabkan wabah penyakit malaria, demam berdarah, dan lainnya.
"Tim pemprov juga sudah menurunkan bantuan berupa makanan, pakaian, dan lainnya," katanya ketika dihubungi.
Idris menyatakan inti masalahnya Suku Anak Dalam itu tidak memiliki lahan atau ruang untuk bercocok tanam, karena lahan mereka sudah dijadikan Taman Nasional Bukit Duabelas di Jambi.
Selain itu, mereka tidak memiliki legitimasi struktural seperti warga desa pada umumnya sehingga bantuan negara tidak dapat menjangkau mereka.
"Anak rimba tidak memiliki KTP, padahal mereka memiliki pemimpin seperti struktur desa," ujarnya.
Menurut dia, masalah ketiadaan lahan Suku Anak Dalam itu karena hutan mereka telah ditetapkan sebagai kawasan taman nasional.
"Dengan penetapan seperti itu, kawasan hutan tidak bisa dibuka sebagai lahan pertanian produktif. Karena itu, negara yang menetapkan kawasan taman nasional wajib menaungi orang rimba Suku Anak Dalam di Jambi, seperti misalnya suku Badui di Jawa Barat," katanya.
Dia menilai kasus kematian orang rimba itu tidak terkait langsung dengan ekspansi sektor perkebunan swasta dan masyarakat adat.
"Kita harus mengetahui dulu akar masalahnya, baru bisa mencari solusinya," katanya.
Sebelumnya sebanyak 11 orang rimba atau Suku Anak Dalam meninggal dunia dalam dua bulan terakhir akibat menderita sakit.
Sebelas korban itu, termasuk empat anak-anak, berasal dari tiga kelompok Orang Rimba di bagian timur Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Yakni kelompok Terap yang dipimpin Tumenggung Marituha, Tumenggung Ngamal, dan kelompok Serenggam yang dipimpin Tumenggung Nyenong.