REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Aroma Elmina menjelaskan nikah siri merupakan istilah agama Islam. Karenanya, dalam hukum nasional tidak ada istilah nikah siri.
Maka, menurutnya, para pelaku nikah siri secara hukum nasional atau positif tidak akan mendapat hak atau dikenakan kewajiban. Menurut Elmira yang menjadi permasalahan dalam nikah siri di kemudian hari adalah apabila ada kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sang korban, tidak bisa mendapat perlindungan hukum dengan menggunakan Pasal Undang-Undang KDRT.
"Jadi nanti yang digunakan bukan Undang Undang KDRT karena yang diatur dalam undang undang KDRT itu suami, istri, anak, atau mereka yang ada (tercatat dalam surat keluarga) dalam rumah tangga," ujar Aroma Elmira saat dihubungi ROL, Selasa (17/3).
Dia melanjutkan dengan membandingkan undang-undang yang ada di Malaysia, Elmira mengatakan kalau di Malaysia orang yang melakukan nikah siri diatur. Lalu jika ada permasalah di kemudian hari, maka itu ada aturnya dalam Undang-Undang Akta Keganasan Rumah Tangga.
Elmira menjelaskan kalau pelaku nikah siri di Indonesia memiliki permasalah kekersan pada salah satu anggota keluarga, maka yang digunakan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 351 tentang penganiyayan umum.