REPUBLIKA.CO.ID,Tahun 1814 dan 1816, budak muslim di Bahia mencoba untuk merencanakan sebuah pemberontakan melawan orang Portugis. Mereka ingin menggulingkan penegak hukum, membebaskan seluruh budak dan menyita kapal-kapal agar mereka bisa kembali ke Afrika.
Sayangnya, karena ada budak yang menjadi mata-mata polisi setempat, pemberontakan itu gagal bahkan sebelum sempat dilaksanakan. Pemimpin pemberontakan dibunuh oleh Portugis. Sampai 20 tahun setelahnya, pemberontakan baik oleh budak muslim atau non-muslim selalu menemui jalan buntu.
Para budak di Bahia datang dari etnis yang berbeda-beda, dari negara bagian yang berbeda pula di Afrika. Mereka berbicara dengan bahasa yang tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Namun, organisasi budak ini bisa bersatu di bawah panji Islam.
Muslim di Bahia akan lebih bersahabat dengan teman sesama muslim dari etnis yang berbeda daripada dengan non-muslim meski dari etnis yang sama. Sepanjang sejarah Islam, persatuan seperti inilah yang membangkitkan kekuatan dan rasa solidaritas.
Gagalnya pemberontakan tahun 1814 dan 1819 memaksa muslim Bahia untuk bersembunyi. Seluruh kegiatan bernuansa islam ditekan oleh pemerintah. Meski bersembunyi, tahun 1820 dan 1830-an, para pemimpin dan cendikiawan muslim fokus untuk mengislamkan orang-orang Afrika lainnya, baik itu penganut Katolik atau animisme.
Meski pemerintah Brasil menyadari peningkatan jumlah orang yang mempraktekkan ajaran Islam, mereka tidak begitu memperhatikannya.
Para organisator di balik pemberontakan itu adalah ulama-ulama populer umat muslim. Karena kuatnya komunitas muslim, mereka sangat dipandang dan dihormati oleh setiap orang.
Di antara para pemimpin ini, ada Syakh Dandara, orang kaya yang merdeka, dia seorang imam. Ada lagi Syakh Sanim, seorang budak berusia lanjut yang mendirikan sekolah untuk mengajarkan Islam. Juga, Malam Bubakar Ahuna, seorang sarjana terkemuka di seluruh Bahia, ia terbiasa mengorganisasi acara-acara keagamaan Islam.
Para cendikiawan muslim ini menggunakan masjid sebagai basis operasinya. Disana mereka membahas rencana pemberontakan, menyimpan senjata, dan disana pula mereka mendidik penduduk asal Afrika.
Melalui masjid ini, Malam Bubakar mendeklarasikan panggilan Jihad. Ia menulis sebuah dokumen berbahasa Arab yang memanggil seluruh umat muslim untuk bersatu dan memberontak kepada tuan-tuan mereka.