REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Alwi Shahab/wartawan senior Republika
Presiden Joko Widodo selama ini kerap melakukan blusukan dalam lawatannya ke berbagai daerah. Presiden Soeharto juga melakukan hal sama dan hampir tidak pernah melupakan untuk mendatangi dan berdialog dengan berrbagai lapisan masarakat selama lima periode kepemimpinannya.
Namun, kala itu istilah blusukan yang populer sekarang ini belum dikenal. Istilah yang populer semasa Pak Harto adalah inkognito atau kunjungan diam-diam. Inkognito dia lakukan pada masa awal kepresidenan, 1970 dan 1980-an.
Kunjungan inkognito ini dilakukan benar-benar rahasia tanpa memberi tahu kepada menteri maupun pejabat daerah setempat. Kendaraan yang digunakan juga sangat seherhana, hanya dengan mobil jip, bukan menggunakan mobil keperesidenan.
Mobil yang digunakan kala itu, Toyota Hardtop, yang populer kala itu dan paling banyak hanya tiga buah. Tentu saja, acara tanpa pengawalan yang ketat ini membuat Pasukan Pengawal Presiden (Paswalpres) cukup waswas. ''Kami tidak berani mengambil risiko keamanan, Pak,'' lapor Paswalpres, seperti dituturkan oleh seorang yang mendengarkan dialog itu.
Presiden Soeharto menjawab kalem, "Masak takut? Kita kan semua tentara." Hal itu seperti yang dituturkan Casmo Tatilofa dalam Catatan Ringan Wartawan Istana.
Maka, berlangsunglah perjalanan inkognito Presiden Soeharto untuk mendengarkan secara langsung suara dan keluhan rakyatnya. Presiden menanyakan soal kehidupan para penduduk, para pedagang di pasar, juga para petani di sawah. Ajudan Presiden, Kolonel Try Sutrisno, sampai harus menuntun Presiden ketika melompati persawahan.
Pada kunjungan diam-diamnya, Pak Harto pertama kali ke daerah Jawa Barat kemudian ke Jawa Tengah. Ketika menginap di rumah kepala desa, Presiden memperkenalkan dirinya sebagai Pak Mantri. Tapi, kunjungan Presiden secara diam-diam ini di Jawa Tengah terbongkar karena ada seorang yang mengenalinya. Kontan saja, bupati, gubernur, dan pejabat lainnya segera berdatangan memburunya.
Pengalaman lucu saya alami ketika menyertai kunjungan Presiden. Saya dan beberapa rekan wartawan menaiki jip ketiga di belakang jip Pak Harto. Tiba-tiba, kendaraan yang dinaiki Pak Harto berhenti. Kami pun berlompatan mengejarnya.
Begitu turun dari mobil dan berjalan menuju satu tempat tertutup, Pak Harto pun menegur kami, "Mengapa ikut? Wong saya mau kencing, kok!'' kata Presiden. Saya pun tersenyum kecut. Sebagai wartawan kepresidenan, boleh dibilang kami selalu harus siap mengikuti kegiatan Presiden.
Di samping kunjungan diam-diam, Pak Harto hampir selalu tidak pernah melupakan waktunya untuk bertatap muka dengan para petani. Kami mendapat kesan, beliau mahir benar masalah dan liku-liku kehidupan para petani. Beliau sangat bersemangat tiap berdialog dengan masyarakat, khususnya para petani. Dia bukan saja mendengarkan, melainkan menanyakan dan memberikan solusi terhadap masalah yang dihadapi para petani.
Acara temu wicara yang selalu disiarkan langsung di televisi dilakukan secara terbuka dan langsung tanpa rekayasa. Dalam kunjungannya di Banten yang kala itu masih berada dalam provinsi Jawa Barat, Pak Harto bermalam di sebuah bedeng di tepi sungai di kawasan yang dekat dengan suku Badui.
Kala itu, kegiatan sehari-hari Presiden Soeharto lebih banyak di Bina Graha yang tampaknya sekarang jarang digunakan untuk kegiatan kepresidenan. Gedung Bina Graha sebelum digunakan sebagai kegiatan kepresidenan itu letaknya bersebelahan dengan Istana Negara.
Gedung itu merupakan Markas Tjakrabirawa yang bertugas mengawal Presiden Soekarno dan keluarga. Setelah Tjakrabirawa dibubarkan Pak Harto, dia membangun Bina Graha dan lebih banyak melakukan kegiatan di tempat ini selain di kediamannya di Jalan Cendana.