REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu argumen kubu Agung Laksono bahwa ia tetap bisa melakukan kegiatan kepartaian adalah adanya UU Nomer 5 Tahun 1998 soal PTUN. Sayangnya, menurut Asep Warlan Yusuf, prinsip hukum ini juga gugur dengan adanya putusan sela PTUN.
Pakar Hukum Tata Negara, Asep Warlan Yusuf, menilai adanya putusan sela PTUN secara tidak langsung menggugurkan prinsip hukum tersebut. Memang pasal 67 ayat 1 menyatakan gugatan tidak menunda atau membatalkan pelaksanaan ketetapan Menkumham. Namun, dengan adanya putusan sela, maka hal tersebut mengacu kembali pada hasil putusan sela.
''Jika tidak ada putusan sela, memang merujuk pada pasal tersebut. Kubu Agung tetap sah melakukan kegiatan hukum. Namun, konteksnya saat ini ada putusan sela. Maka gugur prinsip hukum tersebut," ujar Asep saat dihubungi Republika.co.id, Sabtu (4/4).
Asep mengatakan prinsip hukum tersebut memang berlaku jika hakim tidak mengeluarkan putusan sela. Kedua kubu mestinya memang menghormati putusan sela. Karena, menurut Asep, putusan sela juga bukan persoalan yang remeh temeh.
Hakim dalam mengabulkan putusan sela juga harus menimbang dampak dan urgensi dari putusan sela tersebut. Asep mengatakan keluarnya putusan sela harus melalui pertimbangan dampak kedepan. Jika putusan sela dikabulkan dan dapat menghambat dampak yang lebih besar, maka putusan sela tepat dilakukan.
Namun, dampak dari adanya putusan sela ini, Partai Golkar mengalami kekosongan kepengurusan. Sebab, saat ini diantara kedua kubu baik Munas Ancol maupun Munas Riau tidak memiliki legitimasi sebagai pengurus yang sah.
Maka, Asep mengatakan, kedua kubu baik ARB maupun Agung Laksono harus sama sama menekan ego agar persoalan di PTUN cepat selesai. Jika PTUN tak kunjung menghasilkan keputusan yang incrahct, maka hal ini akan sangat merugikan partai Golkar.