REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kelanjutan dari pemblokiran 22 situs online oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) membawa pertanyaan sebagian pihak adanya tebang pilih terhadap situs-situs yang diblokir. Seperti dijelaskan sebelumnya, 22 situs ini masuk kriteria situs yang memuat konten radikalisme dan berbahaya.
Pengamat intelejen dan terorisme, Margidu Wowiek Prasantyo mengatakan, agar tidak dianggap tebang pilih terhadap upaya pemberantasan gerakan radikalisme di Indonesia, semua situs yang tidak bisa dipertanggungjawabkan harus diperingatkan. Kriterianya, kata dia, yang mengarah kepada gerakan radikalisme serta saparatisme.
"Nasional separatis atau gerakan pengacau keamanan kategorinya, itu juga, bukan hanya Islam radikal saja, hal-hal yang berbau perpecahan RI dan memprovokasi itu harus diperingati," kata Margidu saat dihubungi, Senin (6/4).
Ia mengatakan dirinya termasuk pro dengan upaya pemblokiran situs yang dilakukan Kemenkominfo, sejauh memang situs-situs tersebut mengarah pada hal negatif dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Menurutnya, ada yang perlu dipahami dalam pemblokiran situs tersebut, yakni terkait produk jurnalistik. Selama memang situs online tersebut merupakan produk jurnalistik, Pemerintah tidak boleh secara sepihak memberedel mengingat adanya Undang-undang Pers tersendiri yang telah mengatur.
"Produk jurnalistiklah yang enggak boleh diberedel, karena ada tanggung jawabnya, tapi kan yang saat ini enggak ada produk jurnalistiknya," ujarnya.