REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra mengkritisi pernyataan Presiden Joko Widodo tentang DP mobil Pejabat. Jokowi menyalahkan Kementerian Keuangan dan mengaku tak tahu tentang adanya Perpres yang mengatur tentang peningkatan DP mobil pejabat meski ia sendiri yang menandatanganinya.
Ia pun membandingkan dengan Presiden RI kedua yakni Soeharto. Dulu, kata Yusril, Pak Harto selalu membaca dengan seksama semua yang mau ditandatangani.
Dijelaskannya, setiap naskah yang mau ditandatangani, ada memorandum mensesneg yang menerangkan secara ringkas latar belakang naskah tersebut.
"Kalau Kalau ada hal yg tidak jelas bagi Pak Harto maka orang pertama yg ditanya beliau adalah mensesneg moerdiono atau saadillah mursyid," tulisnya lewat akun twitter pribadinya @Yusrilihza_Mhd yang dikutip Republika, Senin (6/4).
Bahkan, lanjut Yusril, kadang-kadang Pak Harto langsung bertanya padanya jika menyangkut pidato atau surat yang akan ditandatangani. Semua naskah yang dikirim ke rumah pak Harto sore-sore, besoknya sudah dikembalikan ke Sekneg via ajudan.
Yang mau ditandatangan sudah ditandatangan. Sedangkan yang belum ditandatangan ada catatan atau disposisi Pak Harto yang perlu segera ditindaklanjuti Mensesneg.
"Dari disposisi itu kita tahu bahwa pak Harto memang membaca semua naskah yg disampaikan ke beliau seblm ditandatangani," tulisnya.
Bahkan, lanjutnya, laporan intelejen yang tiap hari masuk, semua dibaca pak Harto. Ada coretan-coretan pada laporan itu dan ada pertanyaan serta komentar Pak Harto.
Tak hanya itu, pidato terakhir pak harto tanggal 21 Mei 1998 pun pak Harto panggilnya ke kamar dan bertanya tentang sesuatu sebelum beliau bacakan.
Pak Harto, lanjutnya, sangat teliti, hati-hati dan tidak segan bertanya. Termasuk padanya. Padahal, Yusril mengaku waktu itu disebut pak moerdiono "anak kecil". Tetapi Pak Harto tak segan bertanya padanya.
"Pak Jokowi juga harusnya cermat, hati2 dan tidak segan2 bertanya agar tdk salah teken naskah. Kalau salah teken bisa repot Pak..." tulisnya.