REPUBLIKA.CO.ID, Mengutip Aditya Gunawan dalam tulisannya yang bertajuk ‘Naskah-naskah Islam Sunda Kuna’, akulturasi budaya Islam dan Sunda kuno menjadi faktor penting mengapa Islam begitu mudah diterima oleh masyarakat Sunda kuno ketika itu.
Aditya mendasari kesimpulannya itu kepada puluhan naskah Sunda Kuna yang tersimpan di Perpustakaan Nasional RI (PNRI), terdapat beberapa di antaranya berisi teks-teks keislaman yang, meski jumlahnya tidak banyak, penting untuk dikaji. Teks “Carita Waruga Guru” (CWG) yang diumumkan oleh C.M. Pleyte (1913) adalah salah satu contohnya. Dalam sejumlah detail, kita menemukan istilah Arab yang mulai memperkaya bahasa Sunda Kuna dalam teks, seperti istilah kitab yang menggantikan istilah apus.
Pola penyebaran Islam di Tanah Sunda selaras dengan islamisasi yang berlaku di Jawa secara keseluruhan. Pendekatan yang digunakan ialah cara-cara damai dan persuasif. Kebudayaan dan keyakinan pra-Islam, seperti Sunda Wiwitan, dikikis secara perlahan dan tanpa ada faktor pemaksaan.
Dadan Wildan dalam ‘Perjumpaan Islam dengan Tradisi Sunda’ membuktikan, islamisasi yang gencar di Tanah Pasundan ketika itu, tidak memaksakan komunitas Baduy Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Mereka tetap bertahan dengan ajaran warisan leluhurnya, yakni Sunda Wiwitan.
Meski demikian, ia juga sepakat bahwa pendekatan akulturasi budaya sangat kental dalam proses awal dakwah Islam di Jawa Barat. Ini antara lain misalnya, tampak dari penamaan bulan. Nama-nama bulan itu, dalam tradisi Sunda, sebagian mengadaptasi sistem penamaan dalam kalender Hijriyah.
Sura untuk Muharram, Sapar atau Shafar, Mulud (Rabiul Awwal), Silih/Sawal Mulud (Rabiul Akhir), Jumadil Awal (Jumadil Awwal), Jumadil Akhir (Jumadil Akhir), Rejeb (Rajab), Ruwah (Sya’ban), Puasa (Ramadan), Sawal (Syawal), Kapit/Hapit (Zulkaidah), dan Rayagung/Raya Agung (Zulhijah).
Masih menurut Dadan, mengutip Bekki (1975) dalam “Socio Cultural Changes in a Traditional Javanese Village”, sikap dan karakter keterbukaan yang ditunjukkan oleh masyarakat jawa pada umumnya, pada dasarnya dilatarbelakangi oleh watak dasar mereka yang lentur terhadap agama luar. Meski animisme telah mengakar kuat sepanjang peradaban nusantara, hal itu tidak membuat mereka antipati terhadap keyakinan baru.
Dan, kecenderungan yang berlaku, keyakinan anyar yang datang belakangan itu, dibuat sedemikian rupa, agar khas dan sesuai dengan ‘selera’ lokal. Islamisasi dengan pola ‘adaptasi’ ini, juga terlihat jelas dari penggunaan media seni sebagai alat efektif menyampaikan dakwah, terlebih pada zaman itu, keberadaan dai tak seramai sekarang. Musik atau ritual keagamaan, menjadi jurus jitu untuk mendekatkan mereka denga Islam. Dan, faktanya pola ini berhasil.