REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Parameter radikalisme yang masih abu-abu perlu dibuktikan secara empiris agar tak terjadi saling tuding antarpihak.
"Tadi kita hanya bahas soal janji Kemeninfo soal normalisasi situs, tapi ternyata belum juga terealisasi sampai satu minggu ini," ujar CEO Arrahmah.com Muhammad Jibril Abdul Rahman, Selasa (7/4).
Ia mengatakan, saat ini belum satu suara terkait radikalisme. Standar yang jelas soal radikalisme yang ditudingkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga belum dibuktikan secara empiris.
Jibril menjelaskan hingga saat ini belum ada penjelasan tegas dari BNPT maupun Kemeninfo terkait alasan pemblokiran dan standar radikalisme.
Namun, Jibril mengatakan, Kamis (9/4) lusa akan ada pertemuan dalam panel yang membahas soal batasan dan definisi dari radikalisme.
Terkait konten di dalam situs yang dituding mengandung ajakan terorisme, atau anggapan soal bahaya NKRI, menurut Jibril, itu hanya persoalan pandangan saja.
Jibril mengatakan, jika hal tersebut dijadikan argumen bahwa situs media radikal maka hal tersebut kurang tepat.
Sayangnya, stigma terhadap media Islam terlanjur menginternalisasi ke khalayak sehingga hal tersebut dianggap berbahaya.
Jibril mencontohkan sudah 10 tahun, Arrahmah.com membahas soal Suriah, terorisme, dan persoalan jihad. Padahal konten di dalamnya tidak serta merta mendukung terorisme. Jibril menolak jika dikatakan sepakat dengan paham pembenaran terhadap terorisme.
"Itu dampak dari stigma, didalam konten kami bahas dari segala sisi. Bagaimana sisi islam melihat juga dari pandangan demokrasi, misalnya," ujar Jibril.
Jibril menambahkan, jikalau memang persoalan kritik terhadap negara dilarang, maka mestinya kita mengacu pada azas demokrasi yang memberikan hak kepada rakyat untuk bersuara.
"Kami sadar akan batasan itu, kami berprinsip, katakanlah sesuatu yang benar," tambah Jibril.
Di sisi lain, ia menilai, sikap pemerintah memang mengakibatkan adanya Islamofobia dikalangan rakyat.