REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat Barack Obama menyatakan penyesalannya, atas kasus penyerangan salah sasaran yang dilakukan pesawat tak berawaknya pada Januari lalu. Saat itu, pesawat tak berawak atau drone AS yang menargetkan markas Alqaidah Pakistan secara tak sengaja membunuh sandera asal AS dan Italia.
Obama meminta maaf atas kejadian tersebut. Ia mengatakan bertanggung jawab penuh atas semua operasi kontraterorisme, termasuk operasi di Pakistan itu. "Saya amat menyesali apa yang terjadi. Atas nama pemerintah AS, saya menawarkan permintaan maaf terdalam untuk keluarga," ungkap Obama, Kamis (23/4).
Dua sandera yang tewas dalam serangan adalah petugas bantuan Warren Weinstein asal AS dan Giovanni Lo Porto dari Italia. Weinstein ditangkap Alqaidah pada 2011 sementara Lo Porto pada 2012. Dalam serangan tersebut juga tewas salah satu petinggi Alqaidah berkewarganegaraan AS Ahmed Farouq.
Anggota Alqaidah AS Adam Gadahn juga tewas dalam serangan terpisah di lima hari kemudian. Kematian sandera merupakan kemuunduran bagi kampanye serangan drone AS yang telah berlangsung lama. Selama ini serangan dengan menggunakan drone ke target militan di Pakistan, Afghanistan maupun tempat lain telah menuai kritik dari kelompok kebebasan sipil AS.
Obama memerintahkan pengkajian lengkap terkait masalah ini. Ia ingin memastikan kesalahan tersebut tak terulang kembali di masa depan. "Ini fakta yang kejam dan pahit terkait perang dan perjuangan melawan teroris, kesalahan mematikan kadang dapat terjadi," kata Obama.
Para pejabat AS mengatakan, serangan drone di Pakistan terjadi di wilayah dekat perbatasan Afghanistan. Seorang pejabat mengatakan, CIA telah menyelidiki markas tersebut selama beberapa waktu, tapi tak tahu adanya sandera.
Juru bicara Gedung Putih Josh Earnest mengatakan, Obama tak secara pribadi menandatangani izin dua serangan drone tersebut. Namun ia percaya mereka telah melakukan sesuai prosedur yang telah ditetapkan untuk misi kontraterorisme. Earnest juga mengatakan, presiden tak menyesali kematian Farouq dan Gadahn.
Penggunaan pesawat tak berawak memang memungkinkan AS melakukan operasi kontraterorisme, tanpa menempatkan personil langsung dalam bahaya. Namun langkah tersebut mendorong kritik akibat kematian warga sipil.