Ahad 26 Apr 2015 20:52 WIB

Kemana Politik Muhammadiyah Diabad Kedua? (1)

Rep: Yulianingsih/ Red: Maman Sudiaman
Muhammadiyah
Muhammadiyah

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Tahun ini tepatnya Agustus 2015 mendatang, Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia akan menggelar muktamar ke 47. Musyarakat tertinggi di organisasi ini akan menghasilkan beberapa panduan bagi gerak organisasi ini lima tahun ke depan.

Muktamar juga sebagai ajang pergantian kepemimpinan di Muhammadiyah yang menganut sistem kolektif kolegial ini. Sebagai organisasi keumatan, semua aspek kehidupan dibahas dalam muktamar tersebut untuk menghasilkan panduan-panduan bagi gerak umat persyarikatan. Salah satu hal yang dibahas dalam muktamar itu nantinya adalah aspek politik di Muhammadiyah.

Menurut Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta, Azumardy Azzra, Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia bahkan di dunia. Organisasi ini bahkan memiliki organisasi sayap dan amal usaha yang cukup banyak di Indonesia.

Dari sisi kesehatan, ratusan rumah sakit telah didirikan oleh organisasi ini, di sisi pendidikan ribuan sekolah dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi juga berdiri atas prakarsa organisasi ini. Hal sama juga dilakukan di sektor ekonomi, dakwah dan sosial. Peran serta organisasi ini tidak bisa dikesampingkan dalam kemajuan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Begitupula peran Muhammadiyah dalam politik nasional juga sangat penting. "Besarnya Muhammadiyah berbagai hal dan keleluasan geraknya membuat daya tekan membuat daya tekan politik persyrikatan ditingkat nasional  diabaikan. Namun Muhammadiyah bukan organisasi politik. Muhammadiyah tetap sebagai civil society Islam based yang sekaligus interest group," ujarnya dalam seminar pra Muktamar Muhammadiyah di Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), akhir pekan lalu.

Menurutnya, Muhammadiyah seyogyanya tidak tampil "terlalu politik" dalam berbagai perkembangan dan dinamika politik nasional. Sebaliknya Muhammadiyah justru harus banyak menampilkan sebagai civil ssociety dan interest group. Melalui dua peran itu Muhammadiyah justru bisa sekaligus memerankan dirinya sebagai pressure group atau kelompok penekan dan moral force atau kekuatan moral.

Dikatakan Azumardi, salah satu faktor kebertahanan dan keberhasilan Muhammadiyah sepanjang sejarah dalam menjalankan misinya adalah kemampuan organisasi ini dalam memelihara jarak dengan negara, kekuasaan dan politik sehari-hari.  Muhammadiyah dalam banyak perjalanan sejarahnya cenderung melakukan political disengagement. Muhammadiyah menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam politik baik politik negara, politik kepartaian maupun politik kekuasaan.

"Dengan watak seperti ini Muhammadiyah dapat terhindar dari kooptasi negara atau lebih parah lagi menjadi bagian dari negara itu sendiri," ujarnya.

Begitu pula mengambil jarak dengan partai politik juga mmembuat Muhammadiyah tidak bisa diidentifikasikan dengan partai politik tertentu. Hal inilah yang membuat Muhammadiyah dapat memelihara karakter dan muru'ah sebagai civil society. Muhammadiyah dalam sejarahnya kata Azyumardi juga tidak pernah menjadikan dirinya sebagai "alternatif bagi negara" yang berusaha menumbangkan kekuasaan negara dan menjadikan dirinya sebagai tulang punggung negara. Muhammadiyah justru lebih akomodatif terhadap negara. Hal ini jelas berbeda dengan pandangan klasik civil society sebagai gerakan oposisi yang bertujuan menumbangkan rejim kekuasaan.

Berbeda tidaknya sejarah politik Muhammadiyah ke depan jelas akan dipengaruhi hasil Muktamar ke 47 di Makasar mendatang. Karena aktivitas dan gaya personal masing-masing pimpinan Muhammadiyah jelas akan mempengaruhi gaya politik Muhammadiyah tersebut. Namun terlepas dari hal itu kata dia, hubungan baik dengan kekuasaan merupakan tradisi yang telah lama dan lebih

baik bagi Muhammadiyah. Karena dalam aktualisasi dirinya sebagai civil society dan interest group tetap bersikap oposisional, maka Muhammadiyah sedikit banyak akan mengalami kendala.

"Sebagai civil society Muhammadiyah tidak bisa memerankan perannya sebagai mediating dan bridging di antara negara. Dan sebagai interest group birokrais diberbagai level tidak akan kooperatif dengan Muhammadiyah dan ini tidak menguntungkan bagi organisasi. Dengan berbagai hal tadi maka pilihan terbaik bagi Muhammadiyah ke depan adalah harmoni dan kooperatif dengan kepemimpinan nasional tanpa harus menghilangkan watak dan kepribadian dasarnya sebagai organisasi masyarakat dakwah dan pendidikan serta civil society," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement