REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Geliat persaingan antara Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) dan Bank Pembangunan Asia (ADB) kian menguat. Bila AIIB digawangi oleh Cina, sebagai kekuatan ekonomi baru dunia, maka ADB ditaja Jepang, sebagai bagian dari kekuatan ekonomi Barat yang mapan dan mengglobal.
Diketahui, ADB telah menaikkan besaran uang pinjaman hingga 20 triliun dolar Amerika Serikat (AS). ADB juga membuka hingga 50 persen penerimaan pemberian pinjaman. Ini jelas akan meningkatkan kapasitas kerja sama antara negara-negara Asia dengan pihak swasta, dalam hal ini ADB, untuk pembangunan infrastruktur.
"Sekarang, AIIB yang diprakarsai Cina tengah beranjak naik. Maka ADB yang didominasi Jepang ingin memastikan, ADB masih merupakan pemain kunci dalam menyediakan pinjaman untuk membangun infrastruktur bagi negara-negara berkembang di Asia," kata ekonom asal Singapura, Wai Ho Leong, kepada Business World Online, Senin (4/5).
"Tapi melihat banyaknya kebutuhan untuk membangun di seluruh negara-negara Asia, masih ada ruang untuk keduanya (AIIB dan ADB)," tambah Leong.
ADB memang masih berperan besar. Lebih dari 50 tahun lamanya, ADB telah membantu membiayai pembangunan infrastruktur di berbagai negara Benua Asia. Sebut saja India, Vietnam, dan Indonesia. Lembaga yang didominasi Jepang dan terutama AS ini mulai kehilangan pamor ketika AIIB terbentuk. Kehadiran AIIB merupakan "kelanjutan" dari perkasanya ekonomi Cina di kawasan Asia pada beberapa tahun terakhir.
Bagaimanapun, Cina tampaknya tidak ingin vis-a-vis dengan Barat dalam hal penyediaan bantuan keuangan ke negara-negara sahabat di Asia. "Pihak pemerintah Cina sudah menegaskan, tidak akan bersaingan dengan ADB, malah akan saling melengkapi," ujar Presiden ADB Takehiko Nakao dalam sebuah pertemuan dengan Kepala Interim AIIB Jin Liqun di Baku, Azerbaijan, pada Jumat (1/5) lalu. "Karena memang bagus untuk Asia punya banyak sumber (bantuan finansial)," tambah Nakao kemudian.
Sementara itu, Menteri Keuangan Jepang Taro Aso mengatakan pada pertemuan di Baku, Jepang akan terus meningkatkan dukungan finansialnya bagi peningkatan kualitas investasi di bidang infrastruktur negara-negara Asia. Aso menambahkan, pihakya berfokus pada tiga hal. Peningkatan kualitas sumber daya manusia, pengetahuan, dan bantuan keuangan ke ADB.
Dikatakannya, ADB akan meningkatkan kapasitas pendampingan terhadap negara-negara miskin hingga 70 persen. Ini memungkinkan ADB untuk menggelontorkan dana pinjaman hingga 40 triliun dolar AS hingga tahun mendatang. Sebagai komparasi, pada tahun lalu, ADB hanya menganggarkan 23 triliun dolar AS. Aso juga menegaskan, akan ada dana sebesar 150 juta dolar AS jelang akhir tahun 2015 untuk negara-negara anggota ADB membuat feasibility studies proyek-proyek pembangunan.
Bagaimanapun, untuk negara penerima donor, persaingan antara AIIB dan ADB, jika memang ada, bukanlah persoalan. Misalnya, bagi Indonesia, yang masih memerlukan "uluran tangan" keuangan dari badan finansial asing.
"Kita butuh keduanya, AIIB dan ADB, karena kebutuhan pembiayaan infrastruktur begitu besar. Itu tidak dapat dipenuhi hanya oleh satu institusi," ucap Menteri Keuangan RI Bambang Brojonegoro dalam sebuah wawancara di Baku, Ahad (3/5).
"Kita butuh kolaborasi yang kuat antara AIIB dan ADB, tidak hanya bagi Indonesia, melainkan juga negara-negara berkembang lainnya di Asia," tambah Menteri Bambang.