REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Pengamat politik Sulawesi Selatan Arief Witjaksono menilai lahirnya regulasi yang memberikan batasan unsur keluarga petahana dalam pilkada untuk memperebutkan posisi kepala daerah sangat tepat.
"Bila nantinya Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan mereka maka jelas akan mengkebiri demokrasi di Indonesia," kata dosen Universitas Bosowa 45 tersebut dalam diskusi publik lembaga survey Opini Politik Indonesia di Makassar, Selasa (5/5).
Menurut dia, merujuk pada dinasti politik yang dibangun Ratu Atut di Provinsi Banten merupakan pengalaman yang bisa dijadikan dasar pemerintah membatasi unsur keluarga masuk ikut berpolitik.
"Saya sepakat dengan tema diskusi kali ini mengangkat tema, benarkah politik dinasti mengebiri demokrasi. Sebab bila tidak dibatasi maka ruang gerak masyarakat lainnya untuk itu berkompetisi akan susah, karena mereka semuanya yang berkuasa," bebernya.
Kendati adanya upaya pembatasan politik unsur kekerabatan atau politik dinasti pada Undang-undang nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada ditegaskan di pasal 7, namun disisi laian bertentangan dengan Undang-undang 1945 bahwa warga negara juga diberi hak yang sama mengikuti pemilihan umum.
Sebelumnya, dalam UU tersebut disebutkan akan terjadi konflik kepentingan atau yang dimaksudkan punya hubungan darah, ikatan perkawinan dan atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan petahana.
Artinya, calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah bukan ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, dan menantu dari petahana/