REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sejarawan Tiar Anwar Bachtiar menjelaskan beberapa pertimbangan Kesultanan Mataram Islam menjalin sekutu dengan Kekhalifahan Turki Utsmani. Meski, Tiar Anwar juga mengakui hubungan antara Turki Utsmani dan Keraton Yogyakarta telah surut sejak masa Kolonialisme.
"Pertama, dari segi politik. Turki Utsmani adalah kekhalifahan terkuat setelah hancurnya Dinasti Abbasiyah dan Umayyah. Secara politis, kesultanan-kesultanan yang menjalin hubungan dengan Turki Utsmani memiliki kedudukan yang lebih kuat,” ujarnya kepada Republika, Jumat (8/5).
Menurut dia, hal itu karena Turki Utsmani memiliki kewajiban untuk membantu fasal atau kesultanan sekutunya ketika kedaulatan politik mereka terancam. Tiar Anwar meneruskan, alasan kedua adalah adanya doktrin persatuan dalam ajaran Islam.
Islam sangat menekankan persatuan dan kesatuan di bawah satu penguasa atau kekhilafahan. “Kebetulan, pada saat itu kekhalifahan yang paling kuat adalah Turki Utsmani.”
Terakhir, hubungan ekonomi dan perdagangan. Dengan menjadi bagian dari Kekhalifahan Turki Utsmani, Kasultanan Mataram Islam mendapatkan akses perdagangan yang lebih luas. Mereka lebih leluasa melakukan perniagaan dengan para saudagar dari negera-negara Muslim.
“Tapi, sejak abad ke-19, hubungan antara Turki Utsmani dan fasal-fasal-nya mulai melemah. Secara internal, kekuatan Turki Utsmani sudah pudar," ujar Tiar Anwar. "Para sejarawan Barat menjuluki Turki Utsmani saat itu sebagai the sick man of Europe. Turki tidak sanggup lagi untuk melindungi fasal-fasal-nya, yang pada abad itu sebagian besar berada di bawah Kolonialisme Barat."