Oleh: Imam Nur Suharno
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perjalanan Isra dan Mi’raj merupakan salah satu mukjizat Nabi Muhammad SAW. Dan, salah satu peristiwa penting dalam perjalanan tersebut, Rasulullah SAW didaulatnya menjadi imam (pemimpin) shalat bagi nabi-nabi terdahulu di Masjidil Aqsha (HR Bukhari dan Muslim).
Hal ini menjadi bukti pengakuan para nabi atas kepemimpinan Rasulullah SAW. Maka, sudah seharusnya jika para pemimpin di negeri ini mau meneladani kepemimpinan Nabi SAW dalam upaya membangun bangsa menunju baldatun thayyibatun warabbun ghafur.
Seperti apa model kepemimpinan yang diteladankan Nabi SAW? Di antaranya, pertama, Nabi mengedepankan akhlakul karimah dalam memimpin. Akhlakul karimah menjadi kekuatan Nabi dalam memimpin umat (QS al-Qalam [68]: 4).
Kedua, memiliki rasa empati yang tinggi. Beliau tidak pernah mencaci seseorang dan menegur karena kesalahannya, tidak mencari kesalahan orang lain, dan tidak berbicara kecuali yang bermanfaat. Membiarkan orang menyelesaikan pembicaraannya, tertawa bersama mereka yang tertawa, heran bersama orang yang heran, rajin dan sabar menghadapi orang asing yang tidak sopan, segera memberi apa yang diperlukan orang yang tertimpa kesusahan, dan tidak menerima pujian kecuali dari yang pernah dipuji olehnya (HR Tirmidzi).
Ketiga, mengedepankan keteladanan dalam memimpin. Dikisahkan dari al-Barra’ bin Adzib, ia berkata: “Kulihat beliau mengangkuti tanah galian parit, hingga banyak debu yang menempel di kulit perutnya. Sempat pula kudengar beliau bersabda, “Ya Allah, andaikan bukan karena Engkau, tentu kami tidak akan mendapat petunjuk, tidak bersedekah dan tidak shalat. Turunkanlah ketenteraman kepada kami dan kokohkanlah pendirian kami jika kami berperang. Sesungguhnya para kerabat banyak yang sewenang-wenang kepada kami. Jika mereka menghendaki cobaan, kami tidak menginginkannya.”
Keempat, mengedepankan kebersamaan. Nabi SAW mengusulkan ide win-win solution dalam penyelesaian peletakan hajar aswad. Direntangkannya sebuah kain besar, kemudian hajar Aswad diletakkan di bagian tengahnya, lalu Nabi meminta kepada setiap pemimpin kabilah memegang ujung kain itu. Setelah itu, hajar Aswad disimpan ke tempat semula di Ka’bah. Cara seperti itu, tidak ada satu pun kabilah yang merasa dirugikan, bahkan mereka sepakat menggelari Nabi sebagai al-Amin (orang yang terpercaya).
Kelima, tegas dan tidak pandang bulu dalam penegakan hukum. Nabi SAW tak pernah menetapkan hukum dengan rasa belas kasihan, pilih kasih, atau tebang pilih. Ia tegas dan tidak memihak siapa pun, baik kepada pejabat pemerintahannya, sahabatnya, masyarakat kecil, maupun anggota keluarganya sendiri, termasuk anaknya.
Keenam, bijak dalam mengambil keputusan. Sebelum memutuskan suatu perkara, Nabi SAW memikirkannya secara matang dan mengacu pada kaidah Alquran. Seperti ketika beliau memutuskan sanksi rajam terhadap seorang wanita pelaku perzinaan.
Dengan demikian, jika para pengelola bangsa ini mau terus mengkaji dan meneladani kepemimpinan Nabi, akan dapat membangun Indonesia menjadi bangsa yang tangguh dan mandiri. Wallahu a'lam bishawab.