REPUBLIKA.CO.ID, SRAGEN -- Ormas Islam mendesak Pemerintah Kabupaten Sragen segera menerbitkan peraturan daerah (Perda) yang mengatur tentang larangan peredaran minuman keras di lokasi tertentu.
''Semua Ormas Islam sepakat mendorong terbitnya Perda Miras. Kami akan terus berkoordinasi dan menekan Pemkab dan DPRD, agar Perda Miras segera terrealisasi,'' kata Ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor Sragen, Nur Muhammad.
Menurut Nur, pembuatan Perda Miras tidak perlu mengacu pada peraturan pemerintah pusat maupun Undang-Undang (UU). Tapi, itu adalah wewenang masing-masing daerah.
Hal itu berkaitan kondisi sosial masyarakat Indonesia yang majemuk. Sehingga kultur daerah satu dengan lain berbeda. Misal, seperti di Surabaya dengan penjualan Miras hanya boleh di hotel berbintang. Sehingga peredaran tidak untuk sembarang orang.
Nur juga memahami sikap Polres Sragen yang tidak bisa memproses lebih lanjut penemuan Miras tersebut, karena milik distributor resmi yang berijin.
Untuk itu, semua harus mengawal, agar ada perda untuk menekan peredaran Miras segera terbit. Sehingga polisi ketika melangkah ada dasar hukumnya.
Seperti diketahui, Polres Sragen mengalami kendala dalam pemberantasan Miras. Soalnya, selama ini belum ada perda yang mengatur.
Hal tersebut dikatakan Kapolres AKBP Dwi Tunggal Jaladri, menanggapi aksi Front Pembela Islam (FPI) Sragen yang menggerebek gudang penyimpanan miras di Jalan HOS Cokroaminoto, Teguhan.
Menurut Kapolres tempat tersebut merupakan distributor resmi. Sehingga pihaknya tak bisa memproses secara hukum. ''Distributor itu mempunyai ijin dari pemerintah. Ya, tidak bisa diproses secara hukum karena mereka resmi. Kami berharap FPI jangan asal tangkap dan melihat aturannya dulu,'' kata Kapolres.
Sebelumnya FPI menemukan 1.200 krat atau sekitar 19.000 botol bir yang tersimpan di gudang. Rencananya, selain diedarkan di wilayah Sragen, belasan ribu miras kategori rendah atau kadar alkohol di bawah 0,5 persen juga didistribusikan di daerah lain. Seperti Grobogan, Solo, Magelang dan beberapa tempat di Jawa Tengah.