REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso meragukan validitas data Badan Pusat Statistik (BPS) terkait stok dan produksi komoditas pangan, khususnya beras. Pendapat Andreas diungkapkannya lantaran data BPS yang dirilis selalu menunjukkan kondisi beras surplus, namun justru berbanding terbalik dengan harga beras di pasaran yang terus melonjak.
Andreas mengungkapkan, data BPS menunjukkan pada 2014 produksi beras mencapai 43 juta ton, dengan tingkat konsumsi 139 kilogram (kg) per kapita per tahun. Artinya, Indonesia masih surplus beras sekitar 8,4 juta ton.
"Atau kita pakai angka BPS yang dilakukan studi detail tahun 2013, hasilnya 115 kg per kapita per tahun kita surplus hampir 15 juta ton," kata Andreas, Senin (25/5).
Selain itu, Andreas juga mengajukan data lain, angka yang disebut Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan 124 kg per kapita per tahun kita surplus 10 juta ton.
"Kenyataan yang ada tidak demikian. Kita mengalami krisis. Harga beras stabil tinggi. Februari-Maret harga turun karena masuk masa panen," ujar Andreas.
Menurutnya, validitas data BPS menjadi keprihatinan yang luar biasa. Sebab, dia mensinyalir ada yang tidak beres dengan data produksi pangan nasional.
Senada dengannya, Wakil Ketua Komite IV DPD RI Ajiep Padindang mengaku tidak mempercayai data yang dikeluarkan BPS. "Kami kurang percaya data BPS. Itu angka perkalian antara jumlah lahan dan setiap kali panen. Ada perlu terobosan ulang dari surplus itu," lanjutnya.