REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam sejarah kemiliteran Islam tidak pernah ada larangan orang untuk menjalankan syariat agama. Pengalaman sejarah tersebut seharusnya menjadi pertimbangan dalam penetapan kebijakan jilbab bagi wanita TNI.
“Selama penerapan syariah itu tidak mengganggu atau menyakiti orang lain, itu harus. Kalau menyakiti orang lain, baru pelaksanaan syariah itu dipertimbangkan. Tapi, syariat Islam tidak ada yang menyakiti orang lain, apalagi cuma jilbab,” ujar Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis, Selasa malam (2/6).
Ia mencontohkan, di Amerika Serikat, orang dengan mudah memakai jilbab, meski negaranya sekuler. Maka, ujarnya, Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim sepatutnya lebih mengakomodasi penggunaan jilbab tanpa diskriminasi atas profesi tertentu.
Terlebih lagi, lanjut Cholil, konstitusi Indonesia mengamanahkan bahwa masing-masing pemeluk agama bebas dan dijamin untuk menjalankan ajaran agamanya.
Menurutnya, kebebasan beragama adalah amanah konstitusi yang sudah menjadi kesepakatan kita dalam bernegara. Konsekuensinya, ketika tidak memperbolehkan prajuritnya berjilbab, TNI sebagai aparat negara atau aparat pemerintah tidak menjalankan konstitusi.
“Maka, saya kira, kita harus kembali pada kesepakatan dan konstitusi kita, bahwa warga negara Indonesia bebas dan dijamin menjalankan ajaran agamanya. Supaya, tidak ada yang dirugikan,” pungkas Cholil.