REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski menjadi hak prerogatif presiden, pengajuan nama KSAD Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai calon panglima TNI menuai tanda tanya. Sebab, pencalonan kali ini dinilai tidak terlalu tepat dengan ketentuan dan kondisi yang ada.
Pengamat militer dari Universitas Padjajaran (Unpad) Muradi mengatakan ada dua hal yang berkaitan dengan pengajuan nama Gatot. Hal itu menyangkut pada substansi politik pertahanan.
"Berkaca pada substansi politik pertahanan sesungguhnya menjadi pencalonan ini menjadi tanda tanya. Ada dua hal yang terkait dengan hal tersebut. Pertama, penekanan kata 'dapat' bergilir antara ketiga matra dalam Pasal 13 Undang-Undang TNI," kata Muradi kepada Republika, Rabu (10/6).
Menurut dia, berdasarkan aturan tersebut sesungguhnya menegaskan bahwa jabatan panglima sejatinya memang dapat dijabat ketiga matra. Sebelumnya jabatan panglima dipegang Jenderal Moeldoko dari angkatan darat. Oleh karena itu seharusnya jabatan kali ini diberikan kepada matra yang lain yakni AL dan AU.
Aturan tersebut, ujarnya, berguna untuk menjaga soliditas internal TNI. Karena itu, perlu dilaksanakan secara berkeadilan tiga matra.
Kedua, kata dia secara politik pertahanan, basis pengembangan bidang pertahanan fokus pada pengembangan pertahanan maritim dan kedirgantaraan. Maka, seharusnya pengembangan dua bidang tersebutlah yang harusnya menjadi fokus dalam pemilihan.
Setelah sempat menjadi pertanyaan sosok yang akan diajukan jadi Panglima TNI, nama Jenderal Gatot akhirnya terpilih untuk dicalonkan mengganti Moeldoko. Ia berhasil menyisihkan KSAL Laksamana Ade Supandi dan KSAU Marsekal Agus Supriyatna.