REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Organisasi Qari dan Hafiz Nahdlatul Ulama (Jam’iiyatul Qura wal Hufaz NU), menyatakan penggunaan langgam jawa atau lagu lainnya untuk membaca Alquran diperbolehkan selama tidak menyalahi aturan dan tajwid.
Keputusan tersebut tercetus dari dari seminar yang digelar Pengurus Pusat Jamiyyatul Qurra wal Hufadz (JQH) Nahdlatul Ulama di Gedung PBNU, Jakarta, Selasa (16/6).
Seminar menghadirkan pakar Alquran. Di antaranya, KH Akhsin Sakho Muhammad (Ketua Majelis Ilmi JQH), Muhlis Hanafi (Lembaga pentashih Alquran Kemenag), tokoh dari Iran yakni Dr Ahmad Ali Rabbani (Kum Iran), dan para qari, serta pengurus JQH lainya.
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siraj setuju dengan bacaan Alquran dengan memakai langgam jawa, asalkan tidak menyalahi aturan bacaan Alquran tajwid, mad, panjang pendeknya benar, pengucapan hurufnya (makhraj) benar, maka tidak menjadi masalah. “Selain itu yang terpenting adalah menata niat untuk tidak riya’ dan tidak untuk maksiat,” ujarnya
Ketua Umum PP JQH NU, DR KH Muhaimin Zain mengatakan membaca Alquran dengan memakai langgam jawa atau langgam lainya selama tidak keluar dari aturan tajwid, mahkrajnya tidak keliru dan tidak berubah maknanya, maka boleh-boleh saja (sah). “Tapi kalau cara membacaanya sudah keluar dari aturan tajwid dan maknanya berubah otomatis tidak boleh dan haram hukumnya,” ujarnya
Ia beralasan, karena mengubah satu kalimat huruf dalam Alquran sama dengan mengubah makna Alquran . Apalagi dengan disengaja, jelas-jelas dilarang dan dosa hukumnya. “Jadi ngak boleh mengubah mahraj Alquran , apalagi hurufnya ,” ungkapnya
Catatan lainnya, kata Muhaimin Zain, dalam melantukan ayat suci Alquran memakai langgam Jawa tidak satupun ayat atau huruf di dalam Alquran yang keliru dan berubah. Kalau sampai berubah tentu tidak dibenarkan. “Tidak mendapat pahala justru mendapat dosa,” ujarnya
Rais Majelis Ilmi JQH NU, KH Akhsin Sakho Muhammad menjelaskan, cara membaca Alquran yang mengacu pada langgam budaya Indonesia sangat diperbolehkan dan tidak ada dalil shahih yang melarang hal demikian.
Hanya saja, dia melanjutkan, dirinya belum pernah mendengar //jawabul jawab// di dalam langgam Cina, atau pun di Indonesia. Tetapi jika sekadar langgam Jawa, Sumatera, Sunda, Melayu, dan lainnya, itu sah saja selama memperhatikan hukum bacaan semestinya. “Itu kreativitas budayanya,” kata dia.
Lebih lanjut ia mengungkapkan, saat ini masyarakat Indonesia hanya mengenal satu pintu dalam mendengarkan cara melantunkan Alquran. Seluruhnya terangkum dalam tujuh varian lagu Alquran, yakni Bayyati, Shaba, Nahawand, Hijaz, Rost, Sika, dan Jiharka.
Sejarah pelantunan Alquran dengan lagu tersebut berasal dari Iran. Banyak orang Arab yang mempelajarinya ke Persia, Iran. Meskipun ada 40 jenis cara membaca Alquran, tapi yang dinilai layak hanya tujuh ini. “Tingkatan dan variasi nadanya berbeda-beda.”” ungkapnya.
Muchlis Hanafi, mengatakan, bahwa Nabi tidak menentukan jenis lagu atau langgam tertentu, dan tidak ada larangan terkait jenis lagu atau langgam tertentu, baik secara tersirat maupun tersurat.
Dalam persoalan agama, halal dan haram ditetapkan melalui dalil yang tegas dari Alquran, sunah atau ijmak. Dalam hal yang tidak ditemukan dalil halal dan haramnya, terutama dalam masalah muamalat, maka hukum asalnya adalah boleh. Dalam kaidah fiqih disebutkan, al-ashlu fil asyyâ`i al-ibâhatu (hukum asal segala sesuatu adalah boleh).