REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow mengatakan, pengusulan Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai calon panglima TNI, memerlukan penjelasan secara tegas dari Presiden Joko Widodo selaku pemegang hak untuk memilih tersebut.
"Pemilihan panglima itu hak presiden, namun tetap harus ada penjelasan dari Presiden Jokowi alasan pemilihan pak Gatot tersebut apa," kata Jeirry saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (17/6).
Penjelasan tersebut, kata dia, intinya adalah untuk menegaskan surat keputusan tersebut pada masyarakat. Namun selain dari presiden, penjelasan tersebut juga harus ada dari panglima yaitu Moeldoko yang ditujukan pada internal TNI itu sendiri.
"Untuk menjaga soliditas TNI, presiden dan panglima memberi penjelasan secara tegas alasan dipilihnya pak Gatot, lalu presiden juga sebaiknya memberi penjelasan pada publik untuk meredakan asumsi dan kecurigaan terkait dibalik pengangkatan tersebut agar ada pemahaman dari semua pihak," ujarnya.
Jeirry menambahkan penjelasan tersebut baik untuk mengklarifikasi berbagai pertanyaan publik selama ini, seperti alasan tidak bergiliran antarmatra. Apakah ada unsur politis, akankah mengakibatkan turunnya soliditas antarmatra dan ada kecurigaan kedekatan hubungan dengan penguasa. "Itu kan yang selalu jadi pertanyaan publik untuk diklarifikasi," ucapnya.
Lebih lanjut, Jeirry mengatakan pemilihan panglima tersebut yang terpenting adalah cocok dan persyaratannya memadai seperti dari sisi pangkat, terjadi 'upgrade' yang drastis sehingga menimbulkan gesekan karena ada kecemburuan dan kecurigaan baik dari internal maupun eksternal. "Tapi Gatot sudah cukup layak jadi panglima karena semua terpenuhi," katanya.
Masyarakat menurutnya hendaknya jangan menghabiskan 'energi' untuk mendebatkan tentang tradisi bergiliran panglima TNI, meskipun Jeirry mengatakan hal tersebut baik. Namun 'energi' tersebut seharusnya disalurkan untuk melihat rekam jejak calon yang dimunculkan tersebut.
"Yang terpenting adalah melakukan 'tracking' calon itu, karena meskipun ada subjektifitas presiden, publik membutuhkan panglima yang rekam jejaknya baik sehingga kecil kemungkinan penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki," tuturnya.