REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -– Direktur Pusat Kajian Hadits (PKH) Jakarta, Dr Ahmad Lutfi Fathullah MA mengatakan, setiap perbuatan, perkataan, maupun tindakan Rasulullah SAW adalah suri tauladan bagi umat Islam. Seorang Muslim tidak boleh bersikap sembarangan terhadap hadis Nabi.
“Orang yang tidak mengikuti hadis atau sunnah Nabi, akan lama masuk surga ,” kata Ahmad Lutfi Fathullah kepada Republika di Jakarta, Selasa (23/6).
Alumnus Pondok Modern Daarussalam Gontor Ponogoro, Jawa Timur ini mencontohkan, setiap kali kita minum dengan cara yang diperintahkan Rasul, umpamakan kita mendapat satu kali pahala.
Apabila seorang Muslim minum sehari sepuluh kali saja, ia sudah mendapat sepuluh pahala kebaikan. Itu contoh yang paling sederhana.
Karena itu, kata Lutfi, orang yang mengabaikan sunnah Rasul akan mengalami kerugian pahala di akhirat kelak. ''Secara medis, beberapa penelitian juga telah menunjukkan kebenaran hadis Nabi Muhammad SAW,'' jelas Lutfi.
Konsekuensi menolak hadis Rasulullah, kata pakar hadits ini, tidak sederhana. Ia mengatakan, apabila seorang Muslim berulang kali mengabaikan hadis Rasulullah SAW sampai batas-batas tertentu, ia dapat dikategorikan sebagai inkarus sunnah (penolak hadis).
Pegiat media sosial, Ade Armando, sebelumnya menolak hadis yang melarang minum sambil berdiri dan menggunakan tangan kiri. Ade menyebut hadis tersebut tidak masuk akal.
''Hadis semacam ini tak perlu diikuti karena alasan rasional: tidak masuk di akal! Apa urusannya Allah melarang orang makan sambil berdiri atau pakai tangan kiri? Membayangkan bahwa ada setan yang makan dengan tangan kiri juga sama absurdnya,'' tulis Ade seperti dikutip dalam sebuah artikelnya di Madinaonline, Selasa (23/6).
Artikel Ade Armando di situs pimpinannya tersebut menuai banyak komentar. ''Madinaonline media yang sangat hebat, berani menyalahkan nabi dan sahabat nabi yang menulis hadis. Lebih hebatnya lagi Madinaonline tidak berani mengkritik jokowi,'' tulis Muhammad Zihan Saragih.
Salim Al Fatih, pembaca lainnya, ikut menanggapi artikel Ade. ''Bukan tentang masalah rasional atau tidaknya, tapi ini masalah konsekuensi iman yang didapat dari proses rasional. Syariat bukan pada tempatnya untuk membahas secara filsafatis dan dicari rasionalitasnya. Syariat cukup sami'na wa atho'na,'' tulisnya.