REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara (Jubir) Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Denpasar, Bali, Siti Sapurah, mengatakan LSM yang sempat berperan di masa awal pencarian Engeline pernah ditolak mendirikan rumah penampungan (selter). Masyarakat Bali tidak memberikan izin pendirian shelter itu.
“LSM itu memang berbasis di luar negeri (asing). Kantor pusatnya di Inggris. Dasar kegiatannya memang menyasar anak-anak, mereka menyatakan peduli dan menyayangi anak,” jelas Siti saat dihubungi ROL, Senin (29/6).
LSM bernama Save Childhood itu diketahui beralamat di Canggu, Kabupaten Badung, Bali. Siti menuturkan, Save Chidhood sempat akan membangun sebuah shelter di sana.
Namun, katanya, masyarakat sekitar tidak memberikan izin terhadap rencana itu. Dia menduga, masyarakat setempat keberatan dengan praktik penanganan kekerasan terhadap anak yang dilakukan LSM itu.
Menurut dia, ada indikasi Save Childhood tidak berimbang dalam menangani kasus yang menimpa anak-anak. Sebab, LSM itu lebih banyak menangani kasus yang menimpa keluarga kaya dan ekspatriat.
“Ada dugaan LSM ini hanya mementingkan adanya donasi. Saat ada kasus pedofilia yang melibatkan seorang anak dengan pelaku dari Belanda, LSM ini justru terkesan melindungi pria Belanda tadi,” tambahnya.
Karena itu, pihaknya meminta Polda Bali untuk segera mengusut fakta keterlibatan Save Childhood dalam meninggalnya Engeline. Sebab, LSM itu yang pertama kali dilapori keluarga angkat Engeline saat bocah itu hilang.
Berdasarkan penelusuran ROL, Save Childhood juga sempat mengirimkan surat permohonan perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), bagi keluarga angkat Engeline sebelum dia ditemukan. Komisioner LPSK, Edwin Partogi Pasaribu telah mengkonfirmasi kebenaran pencabutan permohonan perlindungan usai ibu angkat Engeline ditetapkan sebagai tersangka penelantaran anak.