REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Secara harfiah, tayamum berasal dari akar kata yumma-yamman yang berarti menyengaja, memaksudkan, kemudian membentuk kata tayamum yang berarti “sengaja berbuat”. Kata tayamum bisa disinonimkan dengan kata qashd (bermaksud).
“Tayamum mengandung pengertian usaha sadar yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan,” terang Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Prof Nasaruddin Umar dalam tulisannya pada Republikaa, Rabu (8/7).
Tayamum secara istilah dipahami sebagai upaya penyucian diri sebagai pengganti wudhu. Sebagaimana dijelaskan dalam artikel sebelumnya bahwa wudhu adalah upaya penyucian diri, mengangkat hadas kecil (al-hadats al-ashgar) dengan air.
Dasarnya ialah sejumlah ayat dan hadis, antara lain, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku dan usaplah kepala dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan, jika kamu sakit, berada dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyetubuhi perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan menggunakan tanah yang baik (bersih); usaplah muka dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkanmu, tetapi Dia hendak membersihkanmu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS al-Maidah [5]:6).
Ayat lainnya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan, jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya, Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS al-Nisa [4]:43).
Hadis dari Abdur Rahman al-Abza yang menceritakan, datang seorang laki-laki kepada Umar bin Khattab dan bertanya, "Saya dalam keadaan junub sedangkan air tidak ada. Ammar bin Yasir yang ada di situ menyampaikan kepada Umar, 'Tidak ingatkah ketika saya dan Anda dalam suatu perjalanan, saudara tidak shalat lantaran tidak ada air (untuk berwudhu) sedangkan saya berguling-guling di pasir, sesudah itu baru shalat.' Pengalaman ini saya sampaikan kepada Nabi, lalu Nabi bersabda, Cukuplah begini saja: Nabi memukulkan kedua telapak tangannya ke tanah lalu meniupnya, kemudian diusapkan ke muka dan kedua tangannya."
“Tayamum sebagai pengganti wudhu dalam perspektif ahli tarekat dan ahli hakikat adalah wajar mengingat hakikat tanah sama dengan hakikat air, kedua-duanya bersih dan sumber kejadian manusia. Hadis Nabi juga menyebutkan, "Al-Ardhu masjid" (bumi itu masjid), berarti tanah itu suci,” papar Nasaruddin.
Allah SWT, kata mantan Wakil Menteri Agama ini, menyebut tanah sebagai sesuatu yang positif. Mulai dari al-ardl, al-thin, al-turab yang terkadang disebutkan jenisnya, seperti sha'idan thayyiban (tanah debu yang baik) (QS al-Maidah [5]:6), thin lazib (tanah liat) (QS al-Shafat [37]:11), shalshal ka al-fakhkhar (tanah kering seperti tembikar) (QS al-Rahman [55]:14).
Ada pula sahshal min hamain masnun (tanah lumpur hitam yang diberi bentuk) (QS al-Hijr [15]:26), saripati (berasal) dari tanah (sulalah min thin) (QS al-Mu’minun [23]:12), sulalah min thin (saripati dari tanah) (QS al-Mu’minun [23]:12), shalshalin min hamain masnun (tanah liat kering dari lumpur hitam) (QS al-Hijr [15]:28-29).
Tayamum bisa mengganti fungsi wudhu dan mandi junub sekaligus menjadi keringanan bagi orang yang bermasalah jika menyentuh air. Dengan disebutkannya tanah sebagai pengganti air, ujarnya, maka sudah barang tentu keringanan (rukhshah) bagi umat manusia.
Tidak ada satu tempat di manapun manusia berada tiadak menemukan unsur pembersih. Jika tidak ada air, maka pasti ada tanah atau debu.
“Dengan demikian, tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak membersihkan dan menyucikan diri,” tegas Nasaruddin.