REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria mengaku kecewa dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Politikus Gerinda itu mengatakan, pihaknya telah menyampaikan ke pemimpin MK agar memahami maksud dan tujuan dari pasal dalam UU tersebut terkait dengan tidak diperkenankannya politik dinasti.
"Politik semacam ini sangat tidak tepat, karena tidak memberikan kemajuan yang signifikan bagi daerah, yang ada justru hanya memperkaya sekelompok orang," katanya, Rabu (8/7).
Riza juga menilai petahana hanya berusaha untuk menjaga, melindungi, dan melegalisasi kelompoknya saja, termasuk bahkan terhadap kasus kejahatan yang mungkin ada.
Politik dinasti, ucapnya, menjadikan kabupaten seperti kerajaan turun-temurun dan petahana sangat diuntungkan karena bisa menggunakan dana besar yang seharusnya untuk kepentingan daerah tapi diselewengkan untuk kepentingan kekuasaannya.
"Saya kecewa karena keputusan ini dapat menyebabkan ketidakmajuan pembangunan daerah. Yang harus diingat adalah pembangunan bangsa terletak pada pembangunan daerah," jelasnya.
Sebelumnya, pada Rabu (8/7), MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi dari UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang diajukan Adnan Purichta Ichsan, anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.
Pemohon mengajukan uji materi dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 Pasal 7 huruf r dan Pasal 7 huruf s. Pasal 7 huruf r tersebut berbunyi, "Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut; tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana."
Mahkamah mengatakan Pasal 7 huruf r dan penjelasannya memuat norma hukum yang tidak jelas, bias, dan menimbulkan multitafsir karena menimbulkan ketidakjelasan, perlakuan yang tidak adil, perlakuan yang berbeda di hadapan hukum, dan perlakuan diskriminatif.