REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penetapan tersangka atas dugaan pencemaran nama baik kepada dua pejabat Komisi Yudisial (KY) dinilai pantas disebut sebagai bentuk kriminalisasi. Sebab kepolisian terkesan memaksakan Undang-Undang (UU) untuk menjerat komisioner KY.
Aktivis anti korupsi dari Indonesia Legal Rountable (ILR) Erwin Natosmal Oemar mengatakan kepolisian menggunakan landasan KUHP dalam penetapan tersangka. Padahal jika menilik dugaan pelanggaran dalam pencemaran nama baik seharusnya diselesaikan lewat Dewan Kehormatan KY.
"Dugaan pelanggaran pejabat KY diselesaikan lewat Dewan Kehormatan KY sesuai UU KY. Tapi kepolisian menggunakan KUHP sehingga jelas terlihat memaksa untuk menjerat KY," kata Erwin saat dihubungi ROL, Senin (13/7).
Menurutnya, sesuai Pasal 33 (2) UU Nomor 22 tahun 2004 yang diperbaharui dalam UU Nomor 18 Tahun 2011 disebutkan prosedur penyelesaian dalam KY. Pasal tersebut menyebutkan jika komisioner melakukan perbuatan tercela tidak dipidana melainkan diselesaikan dalam ranah kode etik lewat dewan kehormatan.
Bahkan bisa dikatakannya upaya ini sebagai pemaksaan secara institusional. Pasalnya sebagai lembaga pemerintah, UU KY merupakan kekuatan hukum khusus yang seharusnya menjadi landasan pertama.
Oleh karena itu, prosedur dalam tahap pidana disebutnya tidak seharusnya ditetapkan kepolisian. Ini justru yang menjadi dasar penetapan tersangka sebagai bentuk kriminalisasi oleh polisi.
Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri mengumumkan Ketua KY Suparman Muzaki dan Komisioner KY Taufiqurrahman Syahuri sebagai tersangka pencemaran nama baik halim Sarpin Rizaldi.
Penetapan ini merupakan tindak lanjut atas laporan Sarpin yang merasa terpojokkan atas komentar keduanya terhadap putusan praperadilan Komisaris Jenderal Budi Gunawan yang dikeluarkannya.