Rabu 15 Jul 2015 05:33 WIB

Dilema Mualaf di Eropa

Rep: c38/ Red: Agung Sasongko
Mualaf (ilustrasi).
Foto: Onislam.net
Mualaf (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Menjadi mualaf di negara-negara Eropa bukan perkara mudah. Lembaga bimbingan atau pendampingan mualaf menjadi sebuah kebutuhan.

Sebagian mualaf yang berada di lingkungan Muslim bisa meraih kesempatan langsung untuk bertukar informasi. Charizz Legaspi, misalnya. Gadis 23 tahun ini memanfaatkan internet untuk mencapai referensi-referensi keislaman. Ia kemudian mengklarifikasi informasi yang dia peroleh dari internet kepada Muslim lain.

Tapi, tak semua Muslim seberuntung Charizz. Ada banyak Muslim yang sulit mengakses literatur keislaman ataupun masuk ke lingkungan Muslim yang baru.

Mengakomodasi kebutuhan itu, sejumlah mualaf di Kanada mendirikan lembaga bimbingan mualaf, New Muslim Care (NMC). Lembaga yang berdiri pada 2012 silam itu kini telah aktif di lima benua, termasuk Filipina dan Australia.

Manager umum NMC, Julien Drolon, menuturkan, ia mendapati beberapa mualaf menyimpang jauh dari Islam akibat kebingungan, kurangnya dukungan sosial, dan akses informasi. Drolon, pria 33 tahun asal Perancis yang juga mualaf itu merasakan sendiri kesulitan pada tahun-tahun pertama. Ia membutuhkan waktu transisi cukup lama.

“Saya berhenti berpesta dan main musik. Saya kehilangan teman-teman. Selama enam bulan, saya merasa sendirian,” kata Drolon, dilansir dari Anadolu Agency, Selasa (14/7). Dia memperkirakan, sekitar seperempat mualaf memiliki masalah dengan keluarga dan masyarakat pada tahun-tahun pertama.

Hal serupa diungkapkan Ahmet Yukleyen, Associate Professor Hubungan Internasional di Istanbul Commerce University. Ia mengatakan, mualaf sering menghadapi sebuah dilema; dijauhi oleh lingkungan lama, tetapi belum terintegrasi sepenuhnya dalam lingkungan baru. Dalam situasi ini, lembaga pendampingan mualaf mendapat peran penting.

NCM menyediakan buku pegangan, kursus, dan forum-forum diskusi bagi para mualaf. Sebagai langkah pertama, MNC pun menerbitkan buku-buku keislaman yang dapat diakses online. Pasalnya, kata Drolon, banyak mualaf yang tidak tahu bagaimana cara sholat atau berdoa.

“Muslim di 80 negara sudah mendownload buku tersebut secara online," katanya seraya menambahkan, mereka juga tengah memulai saluran di Youtube.

Menurut Pew Research Center, sebuah lembaga riset yang berbasis di Amerika Serikat, jumlah Muslim diperkirakan akan meningkat sekitar 73 persen. Angka 1,6 miliar pada tahun 2010 akan berlipat menjadi 2,8 miliar pada tahun 2050. Sebuah penelitian lain memprediksikan Islam akan menjadi kelompok agama terbesar di dunia pada paruh kedua abad ini. (C 38)

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement