REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penentuan 1 Syawal tahun ini kebetulan sama antara pemerintah dengan sejumlah organisasi kemasyarakatan Islam di Tanah Air, bahkan diperkirakan hingga 2022 masih akan sama.
Namun, ke depannya apabila belum ada kalender Islam atau kalender Hijriah yang sifatnya global guna menyamakan persepsi dalam menentukan awal Ramadhan maupun 1 Syawal, perbedaan akan muncul lagi seperti yang selama ini sering terjadi.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin mengatakan, wacana perlu ada kalender Islam yang bersifat global mendesak untuk segera diterbitkan, guna menyamakan persepsi sejumlah ormas Islam dalam menentukan awal Ramadhan maupun 1 Syawal.
"Kami harapkan pemerintah dapat mengapresiasi keinginan umat Islam ini, sehingga dapat segera menerbitkan kalender Islam yang bersifat global," kata Din seusai menjadi khatib Shalat Idul Fitri di Alun-alun Utara, Kota Yogyakarta, Jumat (17/7).
Menurut dia, kontroversi dalam menetapkan awal Ramadhan dan 1 Syawal yang masih terus terjadi di antara ormas Islam di Indonesia dan dunia dari tahun ke tahun perlu segera diakhiri.
"Salah satunya adalah dengan menerbitkan kalender Islam yang bersifat global, dan dapat diterima semua pihak. Kami terus mendorong pemerintah, dan mengusulkan pembuatan kalender Islam yang bersifat global," katanya.
Ia mengatakan penentuan titik nol dalam kalender Islam dapat dimulai dari Mekkah sebagai pusat peradaban Islam di dunia. "Perbedaan penentuan tanggal Islam, baik 1 Ramadhan maupun 1 Syawal, sangat berdampak di masyarakat, baik secara ekonomi maupun sosial," katanya.
Menurut Din, meski penerbitan kalender Islam secara global tersebut bukan perkara mudah, namun hal itu dirasa perlu untuk menjadi pemikiran bersama, serta upaya yang keras dari masing-masing ormas Islam.
"Dengan adanya acuan resmi kalender Islam ini, maka ke depan tidak ada lagi kontroversi dalam menentukan 1 Ramadhan maupun 1 Syawal," katanya.
Sebelumnya, Din di Jakarta mengajak serta mendorong setiap umat Muslim agar bersatu dalam menetapkan kalender Hijriah atau kalender Islam. Menurut dia, dengan adanya kalender Islam yang bersifat global, tidak hanya awal Ramadhan dan 1 Syawal yang bisa sama antarormas Islam, awal bulan Dzulhijah dan hari-hari besar umat Islam yang lainnya pun akan sama.
Untuk itu, kata dia, umat Muslim harus memiliki kalender Islam yang sifatnya global dan tahunan.
"Sama dari tanggal 1 Muharram sampai akhir tahun Hijriah, sehingga kita tidak perlu melakukan penetapan (sidang isbat) secara eceran setiap awal Ramadhan, Idul Fitri dan awal Dzulhijah," katanya.
Satu tahun ke depan, Din melalui MUI akan terus mendorong pemerintah agar lebih aktif membawa isu penyatuan kalender Islam secara internasional di Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dan Rabithah Alam Islami.
"Kalender ini bukan hanya masalah Indonesia. Standarnya juga jangan bersifat nasional atau 'qaumy', tapi dunia Islam yang 'rahmatan lil 'alamin'," kata dia.