REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan belum semua penyelenggara negara memiliki perspektif perlindungan anak sehingga masih banyak peraturan yang tidak mendukung perlindungan anak.
"Tidak semua peraturan perundang-undangan termasuk peraturan daerah yang mendukung perlindungan anak. Contohnya soal pemenuhan hak anak untuk memiliki akta lahir," kata Susanto melalui siaran pers, Kamis (23/7).
Susanto mengatakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak mengamanatkan akta lahir merupakan hak anak yang diberikan secara gratis. Namun, masih banyak peraturan daerah yang justru memungut biaya pembuatan akta lahir.
Selain belum semua penyelenggara negara memiliki perspektif perlindungan anak, Susanto menilai juga belum ada kesamaan pemahaman terhadap perlindungan anak.
"Akibatnya, masih sering terjadi sengketa yang mengatasnamakan perlindungan anak," ujarnya.
Contoh lain terjadi di lembaga pendidikan. Susanto mengatakan, menurut Undang-Undang Perlindungan Anak, lembaga pendidikan harus steril dari kekerasan. Namun, masih ada kejadian kekerasan terhadap anak yang terjadi di lingkungan lembaga pendidikan.
"Perlindungan anak belum terintegrasi dalam peraturan terkait penyelenggaraan pendidikan," ucapnya.
Menurut Susanto, kekerasan juga dialami anak tidak hanya di luar rumah karena kekerasan dalam pengasuhan anak juga masih terjadi.
Kekerasan dalam pengasuhan anak biasanya dilatarbelakangi minimnya perspektif perlindungan anak, konflik keluarga, masalah ekonomi, pengaruh lingkungan sosial dan komunitas serta budaya.
"Selain itu, kesadaran dan komitmen masyarakat terhadap perlindungan anak masih rendah dan lemah. Hal itu sangat memengaruhi kualitas penyelenggaraan perlindungan anak," katanya.