REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Citra Nahdlatul Ulama yang lekat dengan kaum sarungan, nampaknya segera diakselerasi dengan bergabungnya berbagai kalangan ke dalam organisasi yang didirikan oleh Hadratusyeikh KH Hasyim Asy’ary ini.
“Kita sekarang punya kekuatan baru, yakni kalangan pebisnis, birokrat, akademisi, politisi dan kaum profesional. Semua ingin bergabung menguatkan NU, tapi tidak tahu jalannya. Ini perlu kita pikirkan, kalau tidak kader kita ini akan diambil orang lain,” kata Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) As’ad Said Ali, Kamis (30/7) menjelang keberangkatannya ke Muktamar NU ke-33 di Jombang, Jawa Timur.
Menurut As’ad, menjelang 100 tahun NU dihadapkan dengan beberapa perkembangan. Antara lain, warga NU sudah tersebar tidak hanya terkonsentrasi di desa tetapi juga di kota-kota besar di Indonesia.
Selain itu, generasi NU sudah tidak didominasi oleh para ahli agama Islam. Mantan Wakil Ketua Badan Intelijen Negara ini pun menyimpulkan, NU dianggap paling cocok untuk mengatasi berbagai persoalan keagamaan yang berkembang.
“Tahun 2014 lalu bahkan warga Muslim di Afghanistan mendeklarasikan berdirinya organisasi NU Afganistan atau NUA dengan format yang mirip dengan NU yang ada di
Indonesia,tegasnya.
Menurut As’ad, NU akan tetap menjadi ormas Islam yang besar, bersih dan berwibawa, serta rahmatan lil alamin. Meski demikian, penataan dan konsolidasi organisasi perlu terus dilakukan di lingkungan internal NU, diakuinya, menghadapi berbagai tantangan dan perubahan.