REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah makin mantap merealisasikan teknis perlindungan untuk masyarakat hukum adat (MHA) yang tinggal di kawasan hutan. Salah satunya dengan merealisasikan pembentukan Keputusan Presiden (Keppres) soal pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Masyarakat Adat yang tengah memasuki tahap finalisasi.
"Finalisasi Keppres akan segera disampaikan ke Presiden, drafnya sudah final, sudah pula dilakukan penyesuaian dengan peraturan perundang-undangan," kata Sekretaris Kabinet (Seskab) Andi Widjajanto ditemui di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Jumat (31/7). Ditargetkan, satgas akan mulai bekerja pada Agustus 2015.
Satgas, kata dia, memiliki dua fungsi utama yakni melindungi masyarakat adat dari kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan lahan serta meminta mereka berpartisipasi aktif dalam pembentukan UU masyarakat adat. Dari hasil diskusi, lanjut dia, pemerintah bekerja beberapa masyarakat sipil tentang perlindungan lingkungan. Disusun pula peta identifikasi lahan masyarakat adat dan hutan komunal.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar mengaku lega akan pembentukan satgas yang tengah memasuki tahap akhir. Sebagaimana diketahui, pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat telah diakui dalam keputusan MK 35/2012. Namun ia tidak berjalan. Selain itu, penerbitan perda pengakuan masyarakat hukum adat berjalan sangat lambat di mana pemberian izin hutan tanaman rakyat (HTR) oleh pemda tidak berjalan karena adanya perbedaan persepsi.
"Satgas langsung di bawah presiden," kata Menteri Siti. Ia bertugas mengidentifikasi, mendaftarkan dan memverifikasi masyarakat hutan adat yang mengerjakan dan mempertahankan hak wilayah adat yang terkena masalah pidana. Satgas juga mengkaji dan mengkategorisasi seluruh kasus pelanggaran HAM, konflik agraria dan sosial untuk dicairkan penyelesaiannya sesuai karakteristik kasus.
Disebutkannya, selama pemerintah telah melakukan upaya perlindungan masyarakat hukum adat di antaranya menerbitkan Permendagri 52/2014 yang mengakui masyarakat hukum adat dengan keputusan bupati. Diterbitkan pula Permen Agraria dan Tata Ruang tentang hak komunal atas tanah masyarakat hukum adat dan masyarakat yang ada di kawasan tertentu.
Untuk di kemenerian yang ia pimpin, terdapat Permen LHK tentang hutan hak no. P.32/MENLHK-SETJEN/2015. Permen berisi penanganan konflik tenurial kawasan hutan. Karenanya, keberadaan satgas akan mengefektifkan peraturan yang ia sebut di atas.
Direktur Jenderal (Dirjen) Perhutanan Sosial KLHK Hadi Daryanto lebih lanjut menjelaskan, satgas nantinya bertugas menyiapkan pilihan tindakan cepat penyelesaian konflik tenurial. Ia meliputi pengakuan, perlindunhan, pemulihan hak-hak masyarakat, melindungi wilayah masyarakat adat dan harmonisasi per UU-an MHA.
Sejauh ini kementerian telah menetapkan peta indikatif awal perhutanan sosial seluas 10 juta hektare. "Dalam peta ada 4,1 juta hektare yang sudah diverifikasi dan yang sedang diusulkan untuk verifikasi 5,9 juta hektare," kata dia. Peta berguna untuk menegaskan batas wilayah masyarakat dan disesuaikan dengan peta pemerintah.
Dalam peta indikatif, disepakati adanya pengecualian untuk geotermal, migas, jaringan listrik, waduk, jalan perbatasan dan jalan poros. Disepakati pula, masyarakat dan pemerintah tidak melakukan perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan yang masuk peta indikatif. Selain itu, penerbitan hak guna usaha dan perizinan tambang terbuka di areal peta indikatif ditunda.
Mengantisipasi benturan yang kemungkinan terjadi setelah peta indikatif ditetapkan, pemerintah akan mengutamakan proses mediasi. "Kita akan melatih assesor dan mediator resolusi konflik bersertifikat juga membangun pelayanan sistem online perhutanan sosial dan operasionalisasi. Sampai saat ini, terdapat 120 assesor yang bersertifikat dan sudah bekerja. Nantinya, mereka bertugas membantu penegakkan hukum dan mediasi terkait kasus konflik lahan hutan.