Selasa 06 Jul 2021 06:43 WIB

Perampasan Tanah karena Belum Ada Pengakuan Hukum Adat

Masyarakat hukum adat punya hak yang harus diperlakukan sama dengan masyarakat umum.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Joko Sadewo
Hutan adat Mude Ayek Tebat Benawa di Dusun Tebat Benawa, Kelurahan Penjalang Kecamatan Dempo Selatan, Kota Pagaralam, Sumatera Selatan (Sumsel).
Foto: dok. HaKI
Hutan adat Mude Ayek Tebat Benawa di Dusun Tebat Benawa, Kelurahan Penjalang Kecamatan Dempo Selatan, Kota Pagaralam, Sumatera Selatan (Sumsel).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Penggunaan istilah masyarakat hukum adat dan masyarakat adat masih saja menjadi bahan diskusi di antara para pemerhati lingkungan atau pun penggiat hak asasi manusia (HAM). Belum adanya pengakuan atas masyarakat hukum adat berakibat di antaranya pada perampasan atas tanahnya.

Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Sandrayati Moniaga atau yang akrab dipanggil Sandra, berpendapat ribuan konflik sengketa lahan masyarakat hukum adat terjadi karena sejumlah hal. Di antaranya karena tidak adanya pengakuan wilayah dari negara, administrasi yang menyulitkan, dan upaya penyelesaian konflik yang lama tidak pernah cukup serius.

“Penunjukan kawasan hutan tidak ditindaklanjuti dengan penataan data. Bagi sebagian orang, hal ini merupakan bentuk perampasan tanah oleh negara secara sistematis. Kekeliruan yang sudah banyak terjadi ini harus kita koreksi bersama,” ucap Sandra dalam diskusi daring.

Ia pun menjabarkan penggunaan istilah masyarakat hukum adat serta berbagai persoalan yang sering kali ditemui oleh masyarakat hukum adat. Menurut Sandra, penggunaan istilah masyarakat hukum adat sudah digunakan sejak dahulu.

"Berdasarkan beberapa dokumen pemerintah, ketika The United Nations Declaration On The Rights Of Indigenous Peoples (UNDRIP) ditandatangani, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri acara yang diadakan oleh Komnas HAM, Kementerian Dalam Negeri, Sekretariat Negara dan Mahkamah Konstitusi. Acara itu membahas tentang isu masyarakat-masyarakat adat yang ada di Indonesia dan beliau menyebutnya dengan masyarakat hukum adat,” terangnya.

Tidak hanya itu, Sandra pun mengungkapkan jika istilah masyarakat hukum adat diakui dalam konstitusi dan tercantum secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 6 ayat (1) dan (2). Ada pula yang menggunakan istilah masyarakat adat, misal dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Aliansi ini berpendapat jika tidak semua masyarakat adat memiliki hukum, namun mereka memiliki adat yang secara turun temurun dijalankan. Jika hanya menggunakan istilah masyarakat hukum adat, maka hanya masyarakat adat yang memiliki hukum yang akan dianggap.

Sandra menegaskan jika yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat juga termasuk masyarakat adat sesuai dengan inquiry nasional yang pernah dibuat oleh Komnas HAM pada 2014-2015. “Komnas HAM tidak sedang meneliti tentang masyarakat adat saat ini, namun kami sepakat menggunakan istilah masyarakat hukum adat karena istilah itu adalah istilah yang sah menurut konstitusi dan undang-undang HAM,” ucap Sandra.

Sandra menjelaskan tentang banyaknya berbagai definisi tentang indigenous people. Tapi, lanjut dia, indigenous people harus memenuhi beberapa unsur, seperti yang diungkapkan sosiolog sekaligus antropolog Rodolfo Stavenhagen. “Indigenous people memiliki hukum yang disebut dengan hukum adat, kemudian mereka memiliki wilayah adatnya, mereka punya satu tradisi yang dirawat keberlanjutannya secara turun temurun. Hal itu semua sangat sama dengan masyarakat hukum adat,” jelas Sandra.

Masyarakat hukum adat memiliki hak yang sama dengan masyarakat lainnya, hanya saja masyarakat hukum adat memiliki kekhususan tersendiri. Sandra mencontohkan, masyarakat memiliki hak atas tanah, maka masyarakat hukum adat pun juga memilikinya. Namun konsepnya berbeda dengan hak komunalnya. Seharusnya perlakuannya di mata hukum juga sama, hak mereka wajib diakui, dihormati, dan dilindungi oleh negara.

Sayangnya, berdasarkan penelitian Komnas HAM dalam inquiry nasional, mayoritas masyarakat hukum adat di Indonesia belum memperoleh kembali tanah-tanahnya. Ada syarat administratif yang harus dipenuhi terlebih dahulu, seperti diwajibkan adanya peraturan daerah atau produk hukum daerah lainnya, yang justru menjadi kendala untuk adanya pengembalian tanah-tanah tersebut.

“Begitu banyak masyarakat hukum adat, begitu luas kawasan hutan dan banyaknya tumpang tindih antara tanah adat dan tanah negara menyebabkan sampai saat ini baru sekitar 30.000 hektar yang dikembalikan dan diakui sebagai hutan adat. Bayangkan, itu hanya sedikit dari target 4.500.000 hektar,” ungkap Sandra.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement