REPUBLIKA.CO.ID, JOMBANG -- Perdebatan alot di kalangan peserta Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) diprediksi membuat agenda tertinggi organisasi itu molor. Hingga Ahad (2/8) malam, sidang belum beranjak dari pembahasan tata tertib. Seharusnya, pembahasan Tatib itu selesai pada Sabtu (1/8) malam, usai pembukaan.
Demi memecah kebuntuan tersebut, Pengamat Politik Universitas Airlangga, Hariadi, berharap para kiai sepuh NU hadir untuk memberikan wejangan. “Saya tahu beberapa kiai sepuh yang sebenarnya mereka resah dengan berbagai faksi dan intrik di dalam NU. Mereka selama ini hanya bisa menangisi. Mereka harus ‘turun gunung’,” ujar Hariadi kepada Republika, Senin (3/8).
Terkait dengan perbedaan pendapat di tubuh NU, Hariadi berpandangan, hal tersebut sebuah kewajaran. Meski begitu, menurut dia, ada yang berbeda dari Muktamar kali ini dibandingkan Muktamar sebelum-sebelumnya. Pada Muktamar kali ini, perselisihan di tubuh NU semakin terbuka.
Perbedaan pendapat di kalangan kiai NU, kata Hariadi, idealnya dimaksudkan untuk kemaslahatan umat. Sayangnya, Hariadi menilai, pada Muktamar kali ini, perdebatan yang mengarah pada kepentingan kelompok cenderung lebih mengemuka.
Dahulu, para kiai bahkan harus didorong-dorong untuk memimpin NU, sekalipun mereka tidak bersedia. Tapi sekarang, nilai-nilai itu sudah bergeser dan sejumlah kiai terlihat cukup berambisi untuk memenangi persaingan.
Seandainya perdebatan soal mekanisme pemilihan rais aam syuriah dan Ketua Umum PBNU belum juga selesai dan mengarah pada perpecahan, menurut dia, sebaiknya para kiai sepuh memberikan pencerahan.