Oleh: Ustaz Arifin Ilham
REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Dosa ibarat debu. Jika menempel dan tidak segera dibersihkan, akan berkarat dan kotorannya melekat kuat di hati. Sedangkan, usaha untuk membersihkannya tidak lain adalah dengan bertobat dan membaca istigfar.
Sebagai hamba Allah SWT yang tidak pernah luput dari salah dan dosa, sepantasnya kita memperbanyak istigfar, mohon ampun kepada Allah SWT. "Demi Allah, sesungguhnya aku beristigfar dan bertobat kepada Allah lebih dari 70 kali dalam sehari." (HR Bukhari). Dalam riwayat lain sampai 100 kali dalam sehari (HR Muslim).
Hadis di atas memberikan gambaran tobat dan istighfarnya Nabi Muhammad SAW. Meski telah mendapat jaminan ampunan dan surga dari Allah SWT, tapi beliau tetap bersungguh-sungguh dalam beristigfar dan bertobat kepada-Nya. Sebagai hamba-Nya yang tidak mendapatkan jaminan dari Allah, hendaknya kita mencontoh perilaku Baginda Nabi dan merasa malu kepadanya apabila kita lalai dalam memohon ampunan-Nya.
Paling tidak terdapat empat keutamaan amaliah istigfar. Pertama, istigfar merupakan cermin akan kesadaran diri orang-orang yang bertakwa. “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?” (QS Ali Imran: 135).
Kedua, istigfar merupakan sumber kekuatan umat. Kaum Nabi Hud yang dikenal dengan kekuatan mereka yang luar biasa, masih diperintahkan oleh nabi mereka agar senantiasa beristigfar untuk menambah kekuatan mereka.
“Dan (dia berkata), 'Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa'." (QS Hud: 52).
Bahkan, Rasulullah dalam salah satu hadisnya menegaskan bahwa eksistensi sebuah umat ditentukan di antaranya dengan kesadaran mereka untuk selalu beristigfar. Karenanya, bukan merupakan aib dan tidak merugi orang-orang yang bersalah lantas ia menyadari kesalahannya dengan beristighfar memohon ampun kepada Allah SWT.
Ketiga, istigfar dapat menolak bencana dan menjadi salah satu sarana turunnya keberkahan dan rahmat Allah SWT. Ketika menafsirkan surah al-Anfal: 33, “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun.”
Ibnu Katsir menukil riwayat dari Imam Tirmidzi bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Allah telah menurunkan kepadaku dua pengaman atau penyelemat bagi umat dari azab dan bencana, yaitu keberadaanku dan istighfar. Maka ketika aku telah tiada, masih tersisa satu pengaman hingga hari kiamat, yaitu istigfar." Bahkan, Ibnu Abbas menuturkan bahwa ungkapan istighfar meskipun keluar dari pelaku maksiat dapat mencegah dari beberapa kejahatan dan bahaya.
Keempat, istigfar akan memudahkan urusan seseorang, memudahkan jalan mencari rezeki, dan memelihara seseorang. Dalam konteks ini, Ibnu Katsir menafsirkan surah Hud: 52 dengan menukil hadis Rasulullah SAW yang bersabda, “Barang siapa yang mampu mulazamah atau kontinu dalam beristighfar, maka Allah akan menganugerahkan kebahagiaan dari setiap duka dan kesedihan yang menimpanya, memberi jalan keluar dari setiap kesempitan, dan memberi rezeki dengan cara yang tidak disangka-sangka." (Ibnu Majah).