Ahad 09 Aug 2015 18:51 WIB

Pejuang Literasi dari Pinggiran

Rep: Christiyaningsih/ Red: Djibril Muhammad
Membaca, ilustrasi
Foto: Antara
Membaca, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Wakhit memarkir sepeda motor tuanya di bawah pohon rindang. Bagian belakang motornya dibebani dua tas besar yang terselempang di atas jok. Di tasnya tertempel huruf-huruf besar bertuliskan ‘Baca Gratis Rumah Baca dan Bermain Lentera Ilmu’. Dengan berkaos oblong dan celana kain, ia mengelilingi Desa Keras membawa segepok buku untuk dipinjamkan secara cuma-cuma.

Tak lama sekelompok remaja dan anak-anak menyemut dan sibuk memilih buku-buku bacaan yang dibawa pria 36 tahun ini. Menawarkan buku gratis sudah menjadi kebiasaan Wakhit. Ia adalah penggagas berdirinya Rumah Baca dan Bermain (RBB) Lentera Ilmu di Dusun Keras, Desa Keras, Kecamatan Diwek, Jombang. Agar minat baca masyarakat tetap menyala, ia rajin menyambangi dusun-dusun tetangga sembari membawa sejumlah buku.

“Awalnya saya dikira sales buku,” ucap Wakhit mengenang perjalanannya.

RBB Lentera Ilmu lahir dari keprihatinan Wakhit melihat kondisi anak-anak di sekitar rumahnya. Setiap hari sepulang sekolah mereka hanya bermain tak tentu arah. Kesibukan warga Dusun Keras sebagai petani menjadikan pengawasan terhadap anak-anak sering terbengkalai.

“Harus ada yang mengarahkan agar mereka tidak terpengaruh hal-hal negatif,” katanya.

Wakhit pun berinisiatif membuka rumah baca bagi anak-anak. Berbekal 50 buah buku yang dihimpun dari koleksi pribadi dan sumbangan teman-teman, ia membuka RBB Lentera Ilmu di teras rumah. Lentera Ilmu rupanya menarik minat anak-anak dan remaja Keras. Setiap hari mereka memenuhi serambi rumah Wakhit. Bagi warga Keras, buku bacaan memang menjadi barang mewah karena ketiadaan toko buku dan masyarakatnya rata-rata berpenghasilan rendah.

Kian hari jumlah koleksi buku dan pengunjung Lentera Ilmu kian bertambah. Melihat animo anak-anak, pada medio 2012 Wakhit memutuskan mengontrak rumah sederhana yang khusus digunakan sebagai rumah baca. Sejak saat itu ia harus menyisihkan sebagian gajinya sebagai staf TI di sebuah CV untuk membayar sewa rumah sebesar Rp 600 ribu per bulan.

Setiap hari sekitar 50 anak berusia 6-15 tahun memenuhi rumah bercat putih itu untuk membaca dan belajar. Koleksi buku di Lentera Ilmu kini mencapai lebih dari 600 buah meliputi buku pelajaran, cerita bergambar, dan novel anak hasil sumbangan para donatur.

Untuk membantu operasional, Wakhit membuka bimbingan belajar (bimbel) di rumah yang sama. Namun bimbel tersebut juga tidak serta merta mendatangkan keuntungan. Anak-anak yang belajar di bimbel tidak diwajibkan membayar karena mayoritas berasal dari keluarga pra-sejahtera.

“Kalau ada yang membayar saya terima tapi kalaupun tidak mampu membayar juga tidak apa-apa,” ungkap ayah satu anak ini.

Pria jebolan Madrasah Aliyah ini mengaku tidak mendapatkan keuntungan materi apapun dari ladang ilmu yang didirikannya. Bahkan tak jarang ia harus merugi. Karena selain rumah baca dan bimbel, Wakhit rajin menggelar pelatihan ketrampilan dan kegiatan menyambut hari besar yang ditujukan bagi anak-anak. Terakhir ia menggelar pengajian dan lomba memeringati Isra’ Mi’raj. Dana yang dibutuhkan mencapai Rp 2,8 juta dan semua bersumber dari koceknya sendiri.

Pengorbanan itu tak lepas dari niat baik untuk membuka wawasan generasi muda Keras. Ia yakin manfaat membaca baru akan terasa bertahun-tahun kemudian. Masyarakat mengenal Keras dikenal sebagai desa produsen petasan. Jika memasuki ramadhan atau sedang tidak masa tanam, warganya beralih profesi menjadi pembuat petasan.

“Petasan itu tidak ada manfaatnya, saya ingin anak-anak dibekali ilmu sehingga kelak mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih layak,” ungkapnya sambil bercengkerama dengan tamu-tamu ciliknya pada Sabtu (8/8) sore.

Wakhit tidak berjuang sendirian. Di Jombang tersebutlah Kurniasari yang aktif mengampanyekan gemar membaca kepada warga di Hutan Sumbermiri. Seminggu tiga kali ibu rumah tangga ini ditemani rekannya, Eni Kurniawati, mengunjungi Sumbermiri. Jarak yang ditempuh keduanya untuk mencapai hutan pun tidak dekat. Sari dan Eni harus menyusuri jalan sepanjang 37 kilometer dengan sepeda motor.

Di tengah hutan jati seluas 162 hektare itu ia mendirikan Rumah Ilmu Insan Mulia (Mail). Perkenalannya dengan Sumbermiri berawal dari adik angkatannya yang merupakan warga di hutan Sumbermiri. Ketika berkunjung pada 2010 Sari dikagetkan dengan keadaan desa yang minim fasilitas. Rumah-rumah penduduk masih belum dilengkapi toilet dan tidak ada infrastruktur yang memadai.

Satu-satunya akses menuju perkampungan di dalam hutan hanya jalan aspal rusak yang diapit hutan jati dan mahoni. Antar dusun dihubungkan jalan berbukit-bukit yang bertanah kapur. Jika hujan turun, perjalanan makin berbahaya karena tanah menjadi licin. Satu-satunya institusi pendidikan di Sumbermiri hanya sebuah SD yang dikelola ala kadarnya. Ia hampir tidak percaya di Pulau Jawa masih ada daerah tertinggal seperti Sumbermiri.

“Bahkan sampai sekarang warga harus ke sungai atau menggali lubang jika ingin buang air,” kata wanita 37 tahun ini pada Ahad (9/8).

Hati Sari tergerak. Pada 2011 ia dengan sukarela memberikan les tambahan kepada anak-anak Sumbermiri. Kegiatan les kemudian berkembang menjadi rumah baca karena Sari berhasil mengumpulkan donatur. Jika sebelumnya kegiatan diadakan dengan meminjam pendopo balai desa, maka sejak 2014 Mail menempati bangunan baru dari tanah wakaf seorang warga. Bangunan seluas separuh lapangan futsal ini seluruhnya terbuat dari kayu.

“Toko material terdekat jaraknya 13 kilometer dan tidak ada angkutan yang mau membawa sampai ke hutan,” kata Sari sambil tergelak.

Kini Mail hadir di dua dusun yakni Dusun Sumbermiri dan Dusun Gondorayut. Total koleksi di dua rumah baca itu berjumlah 2000 eksemplar buku. Semangat dua srikandi ini tak pernah kendur meski selama ini kiprahnya tidak pernah mendapat perhatian dari pemerintah desa setempat. Bagi Sari dan Eni, fokus mereka hanya memastikan agar anak-anak bisa tumbuh dengan pendidikan yang layak. Keduanya bahkan tak ragu membiayai empat anak Sumbermiri melanjutkan SMA di Jombang.

Nun jauh di Pulau Ende, Hifni Jafar tengah melakukan perjuangan serupa. Hifni adalah ketua Rumah Kreatif Sahabat Nusantara (RKSN) yang berdiri sejak 2013. RKSN adalah sebuah rumah baca dan belajar yang berlokasi di Dusun Tanjung Kecamatan Rendoraterua Kabupaten Ende. Di perkampungan nelayan itu ia melakukan kampanye literasi kepada warga terutama anak-anak.

Ketika anak-anak nelayan disibukkan dengan sekolah dan membantu orang tua di pelabuhan, Hifni mencuri perhatian mereka dengan mengajak berkumpul di RKSN setiap Ahad. Di sana mereka diajak melahap buku-buku di luar buku pelajaran lewat berbagai permainan. Setiap enam bulan sekali Hifni mengajak anak-anak asuhnya berkeliling Pulau Ende dan menawarkan peminjaman buku gratis.

Dengan logat timur yang kental Hifni menjelaskan cikal bakal RKSN berasal dari bantuan mahasiswa KKN UI. Namun ketika mahasiswa pulang kegiatan langsung terhenti. Setelah setahun tak dilirik, warga berinisiatif mengaktifkan lagi rumah baca ini. “Di Pulau Ende tidak ada perpustakaan, paling dekat harus ditempuh satu jam pakai taksi,” jelasnya sambil menunjuk kapal motor.

Soal biaya, pria 32 tahun ini mengaku rumah bacanya tidak mempunyai donatur tetap. Padahal bangunan RKSN butuh banyak perbaikan. Dindingnya terbuat dari daun pohon kelapa yang dicat biru terang. Atapnya berupa lembaran seng yang sudah bocor di sana-sini. “Kalau hujan para pengurus bergegas ke rumah baca menyelamatkan buku agar tidak kena air,” ungkapnya.

Penghasilan Hifni sebagai guru honorer jauh panggang dari api untuk mendanai pengembangan RKSN. Pendapatan masyarakat di kampungnya sebagai nelayan dan perajin tenun ikat juga tidak bisa diharapkan. Sebagai jalan tengah, ia dan 14 pengurus RKSN menyisihkan Rp 5 ribu tiap bulan. Mereka berharap uang yang terkumpul dapat digunakan untuk merenovasi RKSN secara bertahap.

Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Sri Sularsih mengatakan Perpusnas senantiasa memperluas akses masyarakat terhadap buku. Ia memastikan seluruh provinsi di Indonesia sudah memiliki perpustakaan provinsi. Perpustakaan juga telah menjangkau tingkat kabupaten/kota dan jumlahnya mencapai 470 unit. Jumlah tersebut belum termasuk perpustakaan yang sedang dikembangkan di daerah pemekaran.

Perpusnas juga menggulirkan program e-library dan perpustakaan keliling. Setiap daerah yang telah memiliki lembaga perpustakaan diberikan bantuan 1-2 unit mobil perpustakaan. Satu unit mobil dilengkapi 1200 eksemplar buku dari berbagai judul. Selain mengandalkan APBN, pengadaan infrastruktur perpustakaan keliling juga ditopang APBD. “Sampai saat ini 600 unit mobil perpustakaan telah disebar ke berbagai wilayah di Indonesia,” katanya.

Sri mengakui keterbatasan anggaran masih menjadi kendala dalam mengembangkan perpustakaan keliling, terutama dalam pengadaan buku. Untuk itu Perpusnas giat merangkul perusahaan dalam program corporate social responsibility (CSR).

Kepedulian terhadap akses buku tidak hanya menjadi concern/ pemerintah. Di berbagai wilayah muncul perpustakaan mandiri berbasis komunitas. Gerakan sosial ini sebenarnya sudah diinisiasi. Yayasan 1001 Buku sejak 13 tahun silam gencar mengampanyekan dan mendistribusikan buku ke berbagai pelosok Tanah Air. Pada 2015 tercatat ada lebih dari 350 rumah baca yang berada di bawah jaringan Yayasan 1001 Buku. Para penggiat di komunitas ini percaya, bukan minat baca masyarakat yang rendah. Namun akses masyarakat masih terbatas untuk memperoleh buku berkualitas.

Rumah baca yang tersebar dari Sumatera hingga Papua itu sebagian besar berada di daerah marjinal. Hebatnya para pengelola rumah baca bukan berasal dari kalangan mampu. Rumah baca kadang hanya menempati lokasi seadanya di rumah semi permanen berlantai tanah. Namun meski hidup pas-pasan para relawan dengan suka rela menyisihkan waktu dan uangnya demi pendidikan anak-anak.

Ketua Sekretariat Yayasan 1001 Buku Agustina Pramawati mengatakan pihaknya rutin mendistribusikan buku ke rumah-rumah baca binaan. Setiap bulan, 25-30 rumah baca menerima donasi sebanyak 150 buku per rumah baca. Buku-buku tersebut adalah sumbangan dari para donatur perorangan maupun perusahaan yang peduli pada pendidikan anak. “Permintaan buku dari daerah sudah waiting list,” kata Tina. Membeludaknya pesanan buku tersebut membuktikan bahwa minat baca masyarakat Indonesia sebenarnya cukup tinggi.

Pendistribusian tentu makan biaya mahal dan tak selamanya berjalan mulus mengingat lokasi rumah baca sebagian besar berada di daerah terpencil. Untuk merealisasikan program kerja, 1001 Buku bersinergi dengan program CSR perusahaan. Yayasan juga melebarkan jejaringnya dengan menggandeng Asia Foundation dan komunitas Book for Indonesia di AS. Namun para pengurus tak jarang terengah-engah mencari sumber pendanaan kala paceklik donatur. “Kami berkomitmen memberikan buku ke rumah baca secara cuma-cuma, jadi sudah tanggung jawab yayasan mencari donatur.”

Di Jakarta terdapat 90 rumah baca yang berada di bawah jaringan 1001 Buku. Penanganannya dilakukan oleh seratus relawan dari berbagai profesi. Kantor yayasan yang terletak di bilangan Manggarai pun mengelola sebuah perpustakaan yang diharapkan dapat menjadi perpustakaan percontohan. Anak-anak yang datang ke perpustakaan di Manggarai, kata Tina, berangkat dari keluarga kurang mampu.

Selain melayani peminjaman buku, para relawan di perpustakaan yayasan melakukan pendampingan membaca. Di samping menjaga agar anak-anak terhindar dari konten dewasa, pendampingan membaca dimaksudkan untuk memperlancar pelajaran baca tulis. Menurut Tina banyak anak yang sudah menginjak bangku 2 SD masih belum dapat membaca. “Sekolah dan orang tua tak acuh dengan perkembangan anak sehingga kami di sini terpanggil untuk mendampingi,” kata wanita berkacamata ini.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement